Rabu, 03 Juli 2013

Politik Kekerasan-Tindak kekerasan Milisi Aitarak 1999 di Timor Leste dalam terang pemikiran Johan Galtung

BAB I

PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG
Timor Leste adalah sebuah negara baru di Asia Tenggara dengan nama República Democrática de Timor Leste (RDTL). Negara baru ini pernah dijajah oleh bangsa Potugal selama ± 450 tahun yakni dari tahun 1512-1975. Selama masa penjajahan masyarakat mengalami penderitaan dan hidup di bawah garis kemiskinan, masyarakat dipekerjakan secara paksa. Pendidikan hanya untuk keturunan Liurai/raja, itu pun hanya pada jenjang tertentu. Segala sesuatu terpasung, bahkan hak hidup pun dikendalikan oleh penguasa Portugal. Namun ketika Jenderal Antonio de Spinola bersama teman-temannya mendirikan sebuah gerakan yang disebut Movimento das Forças Armadas (MFA) dan berhasil menjatuhkan kediktatoran Antonio de Oliveira Salazar melalui Revolusi Bunga (Revolução dos Cravos) pada tanggal 25 April 1974. Pada saat itu Timor Portugis diberikan kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Segera setelah tiupan angin segar revolusi itu, para elit politik Timor Leste mendirikan lima partai politik dengan manual politik yang berbeda-beda. Di antara kelima partai itu hanyalah Fretilin (Frénte Revolucionário de Timor Leste Independente/Front Pembebasan Timor Leste) yang secara radikal ingin merdeka dan berdiri sendiri sebagai satu negara berdaulat, anti kolonialisme dan imperialisme.
Sebagian rakyat Timor Leste menyambut baik ideologi pembebasan dari partai Fretilin. Tepat pada tanggal 28 November 1975 Fretilin memproklamasikan kemerdekaan Timor Leste secara unilateral (secara sepihak). Karena itu, keempat partai lainnya (UDT, APODETI, KOTA dan TRABALHISTA) melancarkan deklarasi tandingan yang dikenal dengan Deklarasi Balibo. Isi dari deklarasi ini adalah sebuah rekayasa politik untuk membasmi komunis, karena menurut mereka kemenangan Fretilin pada tanggal 28 November 1975 adalah untuk mendirikan negara komunis.  Karena itu, mereka mengajukan petisi kepada Republik Indonesia, yang kemudian dibonceng oleh Amerika Serikat untuk turut membasmi komunis di Timor Leste yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Selain untuk membasmi komunis, Indonesia mempunyai keinginan politik untuk menjajah yang kemudian dibalut rapi dengan kata integrasi (penyatuan hingga menjadi satu kesatuan yang utuh/bulat), namun yang terjadi adalah aneksasi (pencaplokan/mengambil/menduduki wilayah lain) dengan kekuatan militer. Hal ini terbukti selama berintegrasi dengan Indonesia rakyat merasa dijajah di rumahnya sendiri, karena penguasa menekan rakyat dengan tangan besi dan mengekang kebebasan dengan sistim militerisme. Selama pendudukan Indonesia di Timor-Timur terjadi banyak tindak kekerasan seperti pembunuhan massal, kekerasan seksual, teror dan intimidasi. Kekerasan-kekerasan ini biasanya tidak ditindaklanjuti secara hukum. Para pelaku kekerasan dibiarkan bahkan ada tendensi sikap apatis dari pihak penegak hukum. 
Dengan perlakuan dan kekejian seperti itu Timor-Timur merasa dijajah di daerahnya sendiri. Itulah sebabnya rakyat Timor-Timur ingin menentukan nasibnya sendiri. Untuk mencapai kemerdekaan itu, rakyat Timor-Timur berjuang lewat beberapa wadah perjuangan, yakni: Diplomasi, Gerakan Bawah Tanah/Klandestin dan Front Pertahanan Sayap Kiri Falintil (Forças Armadas de Libertação Nacional de Timor Leste) dan suara profetis tentang pembebasan dari pihak Gereja Lokal. Setelah mencapai proses yang panjang dengan banyak korban nyawa dan harta benda, akhirnya masalah Timor-Timur ditanggapi secara serius oleh PBB. Indonesia pun mendapat kecaman serius dari dunia Internasional dan dituduh melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor-Timur. Banyak pihak menggunakan isu Timor-Timur sebagai salah satu sarana “memukul” dan “memalukan” bangsa Indonesia di percaturan politik internasional.  Atas tekanan dari PBB yang makin kuat untuk segera menyelesaikan masalah Timor-Timur, maka pada tanggal 27 Januari 1999 Presiden B. J. Habibie yang baru menggantikan Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan RI pada tanggal 21 Mei 2008, ingin melepaskan Timor-Timur dari wilayah Kesatuan Republik Indonesia. Referendum/konsultasi rakyat diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, kemudian PBB mengumumkan kemenangan mutlak bagi pro-kemerdekaan pada tanggal 4 September 1999. Para milisi bayaran Jakarta mulai beraksi untuk mempertahankan keutuhan NKRI, korban jiwa berjatuhan, pembumihangusan pun segera berlangsung. TNI dan POLRI yang ditugaskan untuk menjaga perdamaian justru terlibat dalam tindak kekerasan. Pemerintah daerah dan pusat membungkam dan apatis terhadap kebobrokan yang ada.
Kekerasan pasca-referendum 1999 merupakan sebuah kekerasan yang terjadi secara sistematis dan terorganisir. Kekerasan-kekerasan ini dilakukan oleh milisi pro-integrasi. Selama kekerasan, pembumihangusan dan pembunuhan berlangsung tidak ada intervensi dari pihak Indonesia untuk menetralkan situasi atau pun memproses mereka secara hukum. Indonesia bahkan menyangkal bahwa TNI dan POLRI bekerja dengan baik, tidak ada kekerasan. Penyangkalan terhadap kekerasan dan pelanggaran berat HAM ini membuka cakrawala berpikir penulis untuk mempertanyakan kinerja Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan. Apakah kekerasan yang dilakukan oleh milisi merupakan kekerasan murni dan luapan emosional ataukah Jakarta terlibat dalam tindakan milisi untuk kepentingan politik tertentu. Milisi dibentuk oleh Indonesia untuk mempertahankan keutuhan wilayah RI, maka sangat mungkin kekerasan milisi bermuatan politik. Sebelum referendum pihak pro-integrasi sudah meramalkan akan terjadi banjir darah apabila pro-integrasi kalah dalam referendum. Kekerasan demi kekerasan dilancarkan oleh milisi tetapi Jakarta tetap membisu dan selalu melontarkan argumen pembelaan diri dengan mengatakan kepada publik bahwa TNI dan pasukan pembantunya tidak melakukan kekarasan sistematis, yang terjadi adalah bentrokan antar kelompok dan perang saudara. Skenario politik Jakarta mengundang penulis untuk menilai kekarasan milisi Aitarak di kota Dili. Apakah kekerasan, pembumihangusan dan pembunuhan itu bermuatan politik ataukah kekerasan murni? Pertanyaan ini akan dipertegas dalam sub-tema di bawah.


1.2. PERUMUSAN MASALAH DAN PENEGASAN JUDUL
Tepatnya pada tanggal 5 Mei 1999 terjadi pertemuan di New York untuk membahas mekanisme dan keamanan Referendum yang direncanakan terjadi pada 30 Agustus 1999. Dalam pertemuan itu Indonesia diberi tanggung Jawab penuh untuk menjaga keamanan selama dan sesudah Referendum. TNI dan POLRI diberi wewenang untuk menjaga keamanan semaksimal mungkin sehingga rakyat boleh bebas memilih  tanpa ada teror, intimidasi dan pembunuhan. Namun rupanya Jakarta tidak memenuhi banyak janji. Di mana-mana ada kekerasan dan pembunuhan, TNI dan POLRI tidak segan-segan melakukan aksi pembiaran terhadap tindak kekerasan dan pembunuhan itu. Mereka sendiri adalah aktor dari segala kebobrokan di Timor-Timur.
Kekerasan di Kota Dili Pasca-Referendum terus meningkat. Eurico Guterres  dan anak buahnya menguasai kota Dili dan melancarkan aksi kekerasan seperti: pemerkosaan, penjarahan, pemindahan paksa masyarakat, pembumihangusan, teror, intimidasi dan pembunuhan setelah PBB mengumumkan hasil Referendum. Kota Dili yang adalah fokus perhatian keamanan TNI dan POLRI justru mengalami kehancuran total, padahal sebelum Referendum telah terjadi kesepakatan gencatan senjata, pelucutan senjata antara Falintil dan milisi, namun TNI dan milisi selalu menyimpang dari kesepakatan-kesepakatan itu. Eurico Guterres tetap memakai senjata M-16. TNI dan POLRI tidak menghentikan kekerasan.   Kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak di kota Dili mendapat pengakuan dari aparat pemerintah daerah dan pusat. 
Kekerasan yang telah menghilangkan nyawa masyarakat sipil yang tidak bersalah dan pelanggaran berat hak asasi manusia mendapat sorotan dari berbagai pihak. Bagaimana mungkin kekerasan itu tidak dihentikan oleh TNI dan POLRI yang adalah pemegang kendali keamanan sesuai dengan perjanjian 5 Mei di New York? Entahkah kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak itu bernuansa politik? Pertanyaan dasar ini yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak pasca-referendum 1999. Penulis tertarik untuk mengkaji secara tajam kekerasan yang dilakukan milisi Aitarak, karena para penulis terdahulu yang menulis tentang kekerasan di Timor-Timur pasca-referendum 1999 hanya menyoroti kekerasan sebagai kekerasan, tanpa menilai ataupun mengkritisi kekerasan itu dalam satu landasan teoretis tertentu dan tanpa mempertanyakan mengapa terjadi kekerasan. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dasar di atas lewat karya ini penulis ingin menilai tindakan kekerasan milisi Aitarak di bawah judul: “MENILAI KEKERASAN MILISI AITARAK PASCA-REFERENDUM 30 AGUSTUS 1999 SAMPAI KEMERDEKAAN TIMOR LESTE 20 MEI 2002 (Dalam Terang Pemikiran Johan Galtung Tentang Politik Kekerasan)”.

1.3. TUJUAN PENULISAN
Penulisan karya ilmiah ini mempunyai dua tujuan, yakni tujuan umum dan khusus. Yang merupakan Tujuan umum dari karya tulis ini adalah: pertama, karya ini bertujuan memberikan pemahaman kepada generasi pasca-referendum  sehingga mereka tahu tentang peristiwa puncak sekaligus akhir dari pendudukan Indonesia yang sempat menggoresi sejarah hitam yang tidak terlupakan. Kedua, memperkenalkan pemikiran Johan Galtung kepada semua orang  terutama pemikirannya tentang kekuasaan dan kekerasan dalam bingkai politik. Ketiga, memberikan pencerahan kepada semua pihak agar menghentikan tindakan kekerasan dan mengupayakan perdamaian. Keempat, mengajak semua orang agar mampu membedah suatu tindakan kekerasan dan mampu menemukan motif adanya kekerasan. Kelima, karya ini juga bertujuan untuk membongkar tirai kejahatan TNI dan para politisi Jakarta yang telah mencedarai kesepakatan 5 Mei di New York sebagai pemegang keamanan dalam referendum 1999 di Timor-Timur dengan melakukan aksi pembiaran terhadap kelompok milisi Aitarak untuk membumihanguskan kota Dili dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia.
Tujuan khusus karya ilmiah ini adalah untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat akademis yang dituntut oleh Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero untuk memperoleh gelar kesarjanaan strata satu dalam bidang filsafat.

1.4. METODE PENULISAN
Metode yang dipakai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode kepustakaan. Penulis berusaha meneliti sumber-sumber utama tentang kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak dan juga karya-karya Johan Galtung yang berbicara tentang kekuasaan, kekerasan dan politik. Selain itu, penulis juga memanfaatkan sumber-sumber pendukung yang membahas tentang politik kekerasan.

1.5. SISTEMATIKA PENULISAN
Karya ilmiah ini terdiri dari lima bab. Bab pertama sebagai bab pembuka sekaligus menggambarkan latar belakang terjadinya kekerasan dan pertanyaan dasar mengapa terjadinya kekerasan, entahkah kekerasan yang dilakukan oleh Milisi Aitarak di kota Dili bernuansa politik atau kekerasan murni. Dalam bab ini juga penulis memaparkan alasan pemilihan dan penegasan judul, tujuan,  metodologi dan sistematika penulisan.
Dalam bab kedua penulis memperkenalkan Johan Galtung yang di dalamnya dipaparkan sedikit karya dan tokoh yang mempengaruhinya, konsepnya tentang kekerasan terutama pembahasannya tentang kekuasaan dan kekerasan. Sebagai seorang sosisolog sekaligus pengamat politik dan studi perdamaian dunia, Galtung berusaha mengemukakan pemikirannya tentang politik kekerasan dalam ranah kekuasaan ideologis, fragmentatif, imperialisme dan punitif. Dengan demikian dalam bab ini penulis menguraikan secara detail dasar pemikiran yang cukup mempengaruhi terjadinya politik kekerasan, yakni, kekerasan, kekuasaan dan politik. Kekuasaan-kekuasaan ini direalisasikan dalam kekerasan, baik langsung, tidak langsung ataupun kekerasan representasional. Hubungan antara kekuasaan dan kekerasan, kekuasaan sebagai konsep Galtung tentang politik kekerasan, politik kekerasan dan opsi militer, kemudian diakhiri dengan kesimpulan.
Dalam bab ketiga penulis berusaha memaparkan proses terjadinya referendum, milisi Aitarak dan kekerasan-kekerasan yang dilakukannya di kota Dili dan sekitarnya pasca-referendum. Dalam bab ini juga penulis akan menyelidiki entahkah pembentukan milisi Aitarak mendapat dukungan dari pihak lain. Penulis juga menyinggung sekilas peristiwa proklamasi kemerdekaan RDTL (República Democrática de Timor Leste) 20 Mei 2002, sebagai tanda berakhirnya politik kekerasan periode pendudukan Indonesia.
Bab empat adalah bab inti dari seluruh penulisan karya ilmiah ini. Penulis menilai seluruh tindakan kekerasan milisi Aitarak dalam terang pemikiran Johan Galtung tentang politik kekerasan. Di sini penulis membongkar seluruh tindakan milisi Aitarak dan pihak-pihak terkait yang memberikan dukungan untuk melakukan kekerasan secara sistematis dan terstruktur. Fokus utamanya adalah entahkah kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak itu bermuatan politik. Siapakah aktor utama dari kekerasan yang bernuansa politik itu. Pemikiran Johan Galtung tentang politik kekerasan akan menjadi landasan teoretis untuk menilai rentetan kekerasan itu. Dalam bab inti ini penulis membuat satu kesimpulan untuk membuktikan bahwa kekerasan milisi Aitarak benar-benar bernuansa politik.
Bab kelima sebagai bab penutup sekaligus sebagai rangkuman dari keseluruhan karya ilmiah ini dan diakhiri dengan satu-dua usul saran yang berguna.


BAB II
PEMIKIRAN JOHAN GALTUNG TENTANG POLITIK KEKERASAN


2.1.  SEKILAS TENTANG JOHAN GALTUNG 
2.1.1. Riwayat Hidup
Johan Galtung dilahirkan di Oslo, Norwegia pada tanggal 24 Oktober 1930,  ayahnya seorang keturunan aristokrat Norwegia dari zaman Viking, seorang Kristen yang saleh, pernah menjadi letnan dalam angkatan darat negerinya. Galtung menamatkan kuliah sarjana pada bidang matematika di universitas Oslo. Bidang ini memberi pondasi positivisme ilmu sosialnya ketika ia melanjutkan studi doktoral pada bidang sosiologi di universitas yang sama. Pada tahun 1959 ia menjadi asisten profesor di Fakultas Sosiologi Universitas Columbia Amerika Serikat dan kembali ke Norwegia untuk mendirikan International Peace Research Institute Oslo (IPRIO). 
Mendirikan pusat kajian konflik tidak lepas dari pengaruh tradisi sosiologi konflik yang sempat mendapatkan tempat pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat melalui karya-karya Levis Coser dan Ralf Dahrendorf. Melalui PRIO, Galtung masuk lebih dalam pada fakta konflik masyarakat manusia dan upaya menjawab krisis relasi sosial yang muncul dalam masyarakat dunia. Saat ini ia membentuk TRANSCEND, a Network for Peace and Development di Norwegia. Transcend ini sekaligus merupakan pendekatan yang saat ini menjadi perhatian ilmuwan konflik dan aktivis perdamaian. Galtung seorang sosiolog, peneliti masalah-masalah konflik dan perdamaian, pendiri dan direktur Institut Penelitian Perdamaian Internasional di Oslo (1959-1969), profesor penelitian di banyak universitas serta editor pada Journal of Peace Research (1964-1974). Studinya tentang perdamaian dan konflik dunia sudah diterbitkan dengan judul; Peace By Peaceful Means: Peace and Conflict, Development dan Civilization (1996). Edisi Indonesianya diberi judul; Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban (2003).
Galtung juga dianggap sebagai seorang pelopor studi tentang masalah-masalah konflik dan perdamaian serta mengembangkannya menjadi “ilmu baru” yaitu Polemologi, ilmu yang mempelajari asal-usul sebuah konflik dan penyelesaiannya, mempelajari masalah perdamaian dan syarat-syarat pemeliharaannya.  Meskipun Galtung dibesarkan dalam keluarga Kristen dan ayahnya seorang militer tetapi ia keluar dari Gereja Kristen pada usia lima belas tahun dan juga menolak wajib militer dan harus masuk penjara karenanya.
Pengalaman pertamanya dengan hubungan internasional datang dalam bentuk sangat konkret yaitu serdadu Jerman berseragam hijau yang berbaris menguasai kotanya. Pengalaman keduanya adalah dengan urusan wajib militer itu. Keduanya meninggalkan pesan pahit. Yang pertama berupa penindasan atas kotanya (ayahnya disekap di kamp konsentrasi dekat Oslo) sedangkan yang kedua berupa penindasan atas dirinya dalam penjara. Berdasarkan pengalaman itu Galtung bertekad untuk mencurahkan hidupnya untuk mengembangkan studi yang bisa membantu menghapuskan penindasan atas manusia. Galtung seorang intelektual yang anti penguasa yang otoriter dan militeristik. Karena itu  ia dengan keras menentang George W. Bush ketika melakukan invasi ke Irak. Selain itu ia juga mengirimkan surat secara langsung kepada Presiden Amerika agar mengubah politik luar negerinya yang bersifat imperialistik. 
Galtung berkenalan dengan gagasan Mahatma Gandhi melalui Arne Naess, profesor filsafat di Universitas Oslo. Kemudian keduanya menerbitkan buku yang berjudul Gandhis Politiske Etikk pada tahun 1955, suatu studi tentang pemikiran dan praktik politik Gandhi. Dalam buku ini mereka memperkenalkan tiga jenis perjuangan tanpa kekerasan yakni, non-violence of the strong (keyakinan akan kekuatan diri), non-violence of the weak (tidak ada senjata dan sumber daya lain yang diperlukan untuk melakukan pertempuran) dan non-violence of the coward (menyerah karena lemah dan takut). Mereka juga menunjukkan bahwa Gandhi selalu menganjurkan agar orang-orang yang berperang memberi makna positif pada peperangan yang mereka lakukan, yaitu berperang untuk memperjuangkan sesuatu, bukan hanya menentang sesuatu.
Konsep Gandhi yang paling mempengaruhi teorisasi Galtung adalah mengenai struktur, yakni pandangan mengenai manusia sebagai makhluk yang punya kehendak bebas tetapi sekaligus ditundukkan oleh struktur yang seringkali sangat kuat. Gagasan ini kemudian dikembangkannya dalam teori agresi, imperialisme, komunikasi internasional, pola-pola diplomasi dan berbagai fenomena sosial yang semuanya dipandang dalam perspektif struktural. 

2.1.2. Tokoh Yang Mempengaruhinya
Tokoh yang mempengaruhi petualangan intelektual Galtung adalah Mahatma Gandhi. Gandhi adalah seorang India yang mencetuskan ajaran AHIMSA (melawan kekerasan tanpa kekerasan) untuk melawan pemerintahan Inggris dan berhasil meraih kemerdekaan bagi bangsa India pada tanggal 15 Agustus 1950. Ada dua pengalaman yang membuat Galtung tertarik dengan gagasan-gagasan Gandhi. Pertama, negaranya dikuasai oleh tentara Nazi dan ayahnya ditahan di Kamp Konsentrasi. Kedua, Galtung dipenjarakan karena menolak mengikuti wajib militer. Kedua peristiwa pahit ini yang menjadi motivasi dasar Galtung untuk mendirikan sebuah penelitian perdamaian dengan tujuan utama untuk menghapus semua bentuk kekerasan dan ketidakadilan sosial politik. Pandangan Gandhi tentang pemasungan kebebasan manusia oleh struktur sangat mempengaruhi Galtung. Gagasan ini yang membuat Galtung sangat Gandhian.

2.2. KEKERASAN
2.2.1. Pengantar dan Definisi
kekerasan merupakan sebuah tindakan yang dapat merugikan orang lain. Dalam pemikiran Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya.  Menurutnya kekerasan itu begitu luas sehingga apapun tindakan yang akibatnya merugikan orang lain disebut sebagai kekerasan. Kekerasan bukan hanya sebatas pada tindakan memukul, menganiaya ataupun membunuh tetapi lebih dari itu, kekerasan dapat menyentuh seluruh realitas hidup manusia. 
Definisi lain yang boleh dibandingkan dengan kekerasan di atas adalah kekerasan menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler. Kekerasan merupakan suatu perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang, ataupun bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain.  Kekerasan yang sifatnya untuk membela diri atau defensif dianggap juga sebagai bentuk kekerasan  karena dapat menggunakan kekuatan dan merugikan pihak lain.

2.2.2. Titik Tolak
Konsep kekerasan Galtung bertolak dari pribadi manusia yang mempunyai hak untuk merealisasikan diri (self-realization) dan hak untuk mengembangkan diri (personal growth). Hak-hak inilah yang menurut Galtung melekat pada pribadi dan tidak dapat dicabut karena merupakan nilai yang dituju oleh setiap manusia. Karena itu manusia disebut sebagai makhluk yang mempunyai masa depan.  Manusia memiliki potensi dalam dirinya dan potensi-potensi itu perlu diaktualkan dengan cara merealisasikan dan mengembangkan diri. 
Penjelasan di atas menjadi titik tolak yang dipegang oleh Galtung untuk memberikan pemahaman tentang kekerasan sebagai penyebab perbedaan antara yang aktual dan potensial. Pengandaian dan konsep dasar Galtung adalah apa yang bisa atau mungkin diaktualisasikan, harus diaktualisasikan. Konsep ini mau menjelaskan bahwa manusia memiliki hak untuk mengembangkan potensi-potensi dalam dirinya. Hak-hak dasar ini tidak dapat dicabut dan tetap melekat dalam seluruh diri manusia. Namun apabila tingkat realisasi potensialnya dimanipulasi oleh seseorang, kelompok dan kelas tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, maka hal ini disebut sebagai kekerasan.  

2.2.3. Macam-Macam Kekerasan
2.2.3.1. Kekerasan Personal atau Langsung
Kekerasan personal atau langsung adalah kekerasan yang pelaku tindakan kekerasan dapat diidentifikasi secara konkret. Mengapa disebut kekerasan personal? Disebut personal karena kekerasan itu dilakukan oleh individu atau kelompok massa yang konkret, teridentifikasi dengan jelas siapa pelaku kekerasan itu. Kekerasan jenis ini disebut juga sebagai kekerasan langsung karena kita dapat menemukan hubungan antara subyek (pelaku) dan obyek (manusia yang menjadi korban); ada hubungan sebab akibat ( hubungan kausal) yang langsung kita temukan baik pelaku maupun korban. 
Kekerasan personal atau langsung sering terjadi pada daerah-daerah rawan konflik. Pada umumnya konflik bisa terjadi karena masyarakat tidak setuju atau terjadi ketimpangan dalam struktur sosial dan pemerintah. Dengan adanya ketimpangan itu masyarakat berjuang untuk memperbaiki kehidupan di bidang sosial maupun politik. Namun kekerasan juga bisa terjadi karena ada dua kelompok yang sedang bertarung yakni kelompok yang menentang dan mempertahankan kemapanan yang ada. Berhadapan dengan kelompok yang mengusung perubahan Akibat yang terjadi adalah terjadinya kekerasan di antara antara masyarakat pro dan kontra.  Jenis kekerasan ini biasanya memakan korban karena usaha untuk membongkar suatu struktur pemerintah yang tidak adil dan kejam diperlukan sifat nasionalisme yang gigih. Orang mesti berani mempertaruhkan nyawa demi membongkar kebobrokan suatu pemerintahan. 

2.2.3.2. Kekerasan Struktural atau Tidak Langsung
Kekerasan struktural ini hanya dapat ditemukan setelah seseorang mengamati secara cermat dan kritis ketimpangan dan ketidakadilan yang sedang terjadi dalam sebuah institusi atau negara. Kekerasan ini bukan kekerasan yang tersembunyi tetapi menyatu dengan struktur dan sistem sehingga pelaku konkret kejahatan tidak begitu mudah diidentifikasi. Namun perlu digarisbawahi bahwa pelaku-pelakunya tersembunyi dalam struktur itu. Karena itu berhadapan dengan kekerasan seperti, ini orang biasanya mengalamatkan pelaku kejahatan itu kepada sistem atau struktur suatu pemerintahan ataupun institusi tertentu. 
Kekerasan struktural atau tidak langsung pada dasarnya bersifat kompleks, artinya unsur yang melatarbelakangi terjadinya tindakan kekerasan itu begitu banyak. Unsur-unsur itu misalnya motif, tujuan, pelaku, bentuk-bentuk dan sarana-sarana yang dipakai serta obyek yang dijadikan sasaran kekerasan. Kecenderungan kompleksifikasi kekerasan ini tampak dalam kerusuhan massal yang disertai dengan penjarahan harta milik, pemerkosaan, penganiayaan, pembunuhan, pembakaran dan perusakan berbagai fasilitas umum.  Jenis kekerasan ini menciptakan jurang yang begitu lebar antara yang potensial dan yang aktual, karena apa yang mestinya diaktualkan sudah dicederai oleh sistem yang tidak adil dan menindas.
Kekerasan struktual terjadi karena penguasa menggunakan kekuasaan untuk menindas rakyat dan penguasa sendiri adalah biang konflik. Ketika penguasa sendiri sebagai sumber konflik dan kekerasan maka yang muncul adalah sikap antipati masyarakat terhadap penguasa dengan konsekuensinya adalah terjadinya ketidakharmonisan dan sikap kontra penguasa. Oleh karena itu agar tidak terjadi konflik dan kekerasan struktural dalam sebuah sistem pemerintahan, maka pemerintah harus mengamalkan lima syarat berikut agar dalam penerapan hukum tidak terjadi tindak kekerasan: pertama, pemerintah didasarkan pada konstitusi, kedua, pemerintah harus membatasi kekuasaannya, ketiga, ada pemisahan kekuasaan dalam fungsi pemerintahan, keempat, ada asas kebebasan kekuasaan kehakiman. Kehakiman menjadi salah satu pilar penegak keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum, kelima, ada jaminan perlindungan terhadap kebebasan dan hak asasi manusia. Segala otoritas yang diberikan dan dimiliki oleh penguasa harus ditunjukkan dan diabdikan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakya.  
Mengapa kekerasan struktural itu disebut juga sebagai kekerasan tidak langsung? Alasannya jelas bahwa dalam kekerasan struktural aktor utama atau biang kekerasan tidak menampakkan diri secara konkret sebagaimana dalam kekerasan personal atau langsung. Kekerasan struktual ini menggunakan orang lain atau instrumen lain sebagai pelaku kejahatan, sehingga boleh dikatakan bahwa orang lain digunakan sebagai instrumen kekerasan atau kekerasan yang mengatasnamakan suatu sistem. Menurut Galtung kekerasan tak langsung berasal dari struktur sosial itu sendiri, antara orang, antara kelompok orang (masyarakat), dan antara kumpulan masyarakat (aliansi daerah) di dunia. Ada dua contoh kekerasan struktural yakni, politik dan ekonomi. Keduanya identik dengan represi dan eksploitasi. Karena itu, kekerasan struktural memiliki dimensi politik dan ekonomi.  
Kekerasan ini berdimensi politik sekaligus ekonomi karena keduanya berhubungan dengan struktur dan sistem. Politik pada dasarnya sesuatu yang baik dan bernilai positif karena tujuan utama percaturan politik adalah untuk kebaikan dan kesejahteraan masyarakat. Namun politik akan menjadi kotor dan berdampak negatif apabila penguasa menyalahgunakan kekuasaannya dan melegitimasi kekerasan dalam pencapaian tujuannya. Demikian juga ekonomi, masyarakat akan mengalami bencana kelaparan dan kematian apabila dalam struktur pemerintah terjadi korupsi dan kebijakan-kebijakan yang bersubstansi merugikan masyarakat dan menguntungkan penguasa dan kelompoknya.
Menurut Galtung, kekerasan struktual dan kekerasan personal saling berkorelasi. Korelasi ini disebabkan oleh pelaku-pelaku konkret kekerasan dalam struktur atau sistem itu tampak ketika bertindak atas nama institusi atau lembaga tertentu. Joseph Nevins dalam bukunya Pembantaian Timor Timur, Horor Masyarakat Internasional, mengatakan bahwa kekerasan struktural disebut sebagai kekerasan yang terlembaga karena para pelaku kejahatan tersembunyi “di balik layar”.  Galtung memakai istilah “melempar batu pertama” untuk kekerasan struktural.  Kekerasan jenis ini akan menjadi konkret bila dijelaskan dalam jenis kekerasan representasional. Yang terjadi adalah seseorang atau kelompok orang membuat tindak kejahatan atas nama sebuah institusi. Maka sub tema berikut ini kiranya dapat memberikan pemahaman yang jelas dan akurat tentang kekerasan yang mengatasnamakan sebuah lembaga atau pemerintah.

2.2.3.3. Kekerasan Representasional
Kekerasan representasional merupakan sebuah tindak kekerasan yang mengatasmanakan pihak atau otoritas lain, atau kekerasan yang diperintahkan oleh pihak berwenang untuk terlibat dalam sebuah aksi kejahatan. Orang-orang yang terlibat atau dijadikan instrumen kekerasan adalah mereka yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan, karena mereka ini mudah diprovokasi dan dipengaruhi untuk melakukan apa saja yang dikomandoi oleh aktor utama kekerasan. Kekerasan representasional mencakup kekerasan struktural dan personal, mengesahkan bentuk-bentuk kekerasan langsung dan struktural.  
Dalam kekerasan representasional, ada peluang untuk menciptakan kekerasan yang berskala besar dan pelanggaran-pelanggaran berat lainnya. Kekerasan pada tingkatan ini, penguasa dianggap sebagai pelaku atau aktor kekerasan, karena mereka yang mengatur dan menunjukkan jalan untuk memperlancar berbagai macam intervensi oleh individu, kelompok dan lembaga-lembaga dalam melakukan kejahatan berat dan kekerasan massal, serta memungkinkan kekebalan hukum bagi para pelaku kekerasan. Karena itu proses peradilan bagi pelaku kekerasan ini harus melalui hukum internasional.  Hal ini penting karena pelaku kekerasan struktural ataupun representasional tidak mudah diadili dalam hukum nasional. Umumnya yang menjadi korban pengadilan adalah pelaku kekerasan konkret atau orang-orang yang disuruh/diperalat untuk melakukan kekerasan, sementara itu aktor kekerasan tetap lolos dari jaring hukum. 
2.3. KEKUASAAN 
2.3.1. Pengantar dan Definisi
Definisi kekuasaan secara umum berarti kemampuan orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma atau kekuatan fisik.  Sedangkan  kekuasaan menurut Galtung adalah sebuah relasi yang tidak seimbang. Relasi yang tidak seimbang ini merupakan relasi yang eksploitatif dan represif karena penguasa menaruh kepercayaan pada kekuatan. Karena itu menurut Galtung kekuasaan adalah konsep yang paling dasar dan kaya dalam politik. Kekuasaan terjadi dalam pola-pola relasi antar manusia dan negara.  Berbicara soal kekuasaan, tidak terlepas dari apa yang disebut otoritas atau wewenang. Seperti sudah dijelaskan bahwa kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan dan otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasi secara hukum.  Bahayanya adalah kalau kekuasaan dilegitimasi, maka besar kemungkinan orang atau penguasa tertentu menggunakan kekuasaan itu untuk menindas dan menguasai orang lain.

2.3.2. Titik Tolak
Titik tolak yang dipakai oleh Galtung dalam konsepnya tentang kekuasaan adalah dua prinsip dasar dalam hidup manusia, yakni ada (being) dan memiliki (having). Seseorang yang memiliki kekuasaan karena pembawaan (being), entah memiliki kepribadian yang menarik atau mempunyai kharisma tinggi, bisa menjadi dasar baginya untuk memberi pengaruh ideologis. Begitu juga dengan memiliki (having); dengan kekuasaan yang dimiliki orang tertentu bisa mempunyai akses untuk menguasai orang lain.

2.3.3. Kekuasaan Ideologis
Kekuasaan ideologis adalah sebuah kekuasaan yang diperoleh melalui ide atau gagasan. Dasar dari kekuasaan ini adalah daya persuasi. Seseorang yang mempunyai kepribadian menarik dan berkharisma besar mempunyai daya persuasi yang besar pula untuk menanamkan pengaruh ideologis. Istilah lain  untuk kekuasaan ideologis adalah kekuasaan normatif.  Daya persuasi menuntut adanya kepatuhan dan ketaatan dari orang lain. Kekuasaan ideologis ini sangat berbahaya apabila seseorang atau sekelompok orang diindoktrinasi dengan ajaran-ajaran yang sifatnya provokatif dan dominatif.
Kekuasaan ideologis seringkali dipakai oleh penguasa yang memilih opsi militer. Pada masa Orde Baru terjadi kekerasan dan kerusuhan di mana-mana karena aktor utama kekerasan itu adalah penguasa yang totaliter (pemegang kendali segala sesuatu). Pada masa Orde Baru, keamanan sebagai sebuah ideologi politik.  Alasannya adalah penguasa sendiri dapat memprediksi kapan terjadi keamanan dan kapan terjadi kerusuhan; penguasa menguasai segala sesuatu termasuk keamanan itu sendiri. Dalam prakteknya, penguasa menciptakan kekerasan dan kemudian tampil sebagai pendamai. Dengan demikian, di mata rakyat sederhana, penguasa adalah pahlawan bangsa.
 
2.3.4. Kekuasaan Punitif
Kekuasaan punitif mempunyai definisi yang cukup ekstrem dalam ranah kekerasan dan kejahatan. Kekuasaan punitif merupakan suatu kekuasaan di mana orang mempunyai kejahatan yang bersifat destruktif atau menghancurkan. Dasar dari kekuasaan ini adalah kekuatan yang berpotensi kekerasan. Melalui kekuasaan ini para penguasa akan membentuk sebuah kekuatan yang profesional dan menyusun strategi-strategi yang patent untuk menghancurkan lawan-lawannya. Menurut Galtung, kekuasaan seperti ini biasanya terdapat dalam dunia militer. Kekuasaan ini juga mengandalkan sikap kepatuhan, ketergantungan dan ketakutan. Selain mengandalkan kepatuhan dari bawahan atau yang dikuasai, kekuasaan ini juga dioperasionalisasikan secara halus, sehingga sulit membangkitkan kekuasaan tandingan dari pihak lain. 
Kekuasaan punitif dibagi dalam  tiga aspek “kejahatan”, yakni, investasi di sektor militer terutama anggaran belanja militer, kesiagaan militer dan personil atau anggota militer. Ketiga aspek ini menjadi kekuatan bagi seorang penguasa untuk melakukan apa saja demi tercapainya tujuan penguasa. Apabila ketiga komponen ini semakin kuat, maka sering terjadi perang atau konfrontasi senjata yang bersifat terbuka. Oleh sebab itu menurut Galtung, dalam bidang politik sering terjadi kerjasama di antara kekuasaan ideologis dan punitif. Dalam ranah politik kekuasaan punitif dan  ideologis ini cukup mempengaruhi penguasa untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang cenderung bermuatan kekerasan.  

2.3.5. Kekuasaan Struktural
Kekuasaan struktural adalah sebuah kekuasaan yang dibangun dalam struktur. Misalnya seorang presiden mempunyai kekuasaan yang berasal dari kedudukannya dalam struktur kekuasaan nasional. Kekuasaan struktural merupakan kekuasaan yang terlembaga berdasarkan kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam struktur itu. Meski demikian tidak menutup kemungkinan bahwa kekuasaan personal (being power) juga turut berpengaruh bagi terlaksananya kekuasaan struktural.  Dalam struktur terjadi begitu banyak kejahatan struktural. Kejahatan-kejahatan ini terjadi karena penguasa menggunakan kekuasaannya untuk melakukan sesuatu yang dia kehendaki dan mempunyai otoritas untuk memerintah seseorang/sekelompok orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Contoh kejahatan struktural adalah perang dan korupsi. Kedua kejahatan ini merupakan produk dari sistem kekuasaan struktural. Kebijakan politik penguasa akan mempengaruhi semua jajaran dalam sistem sehingga kelihatannya kekuasaan itu terlembaga dan dampak kejahatan yang dihasilkan cukup tersembunyi namun membawa penderitaan bagi masyarakat luas. Menurut Galtung Kekuasaan struktural ini memiliki potensi untuk melahirkan kekuasaan eksploitatif dan fragmentatif. 
Kekuasaan eksploitatif adalah kekuasaan di mana penguasa atau pemegang kekuasaan mengeksploitasi hak-hak orang lain atau kelompok lain demi mencapai tujuan tertentu. Kekuasaan eksploitatif juga dapat diparalelkan dengan sebuah penindasan atas orang lain. Mengapa demikian? Karena mengeksploitasi berarti mengambil sesuatu dari orang lain secara tidak seimbang, sehingga orang lain dirugikan secara sengaja demi tujuan penguasa semata. Dalam kehidupan politik, kekuasaan eksploitatif dimengerti sebagai sebuah tindakan yang menjadian orang lain sebagai instrumen atau alat dari pemegang kekuasaan.
Dalam bidang militer penguasa dengan kekuasaan komandonya hanya menyediakan peralatan perang dan menyusun strategi, sementara para prajurit dilihat sebagai alat bahkan tenaga yang digunakan untuk mewujudkan kebijakan politik penguasa.  Dalam hal ini Galtung mengangkat peperangan di Asia dan negara-negara berkembang yang cenderung meningkat karena orang-orang di daerah ini mudah diperalat dan diprovokasi untuk melakukan kejahatan demi kepentingan politik penguasa. Sedangkan kekuasaan framentatif lebih pada sistem politik militerisme untuk menghancurkan lawan atau daerah yang dikuasainya dengan politik adudomba sehingga terkesan perang itu adalah perang saudara, sementara sang penguasa berada di balik layar. Kekuasaan fragmentatif dan eksploitatif sering terjadi pada masyarakat terbelakang yang mudah diperalat untuk berjuang demi kepentingan sang penguasa. Karena itu, menurut Galtung, sistem dominasi, kolonialisme dan imperialisme akan terus berlanjut dalam sejarah hidup manusia. Dampaknya adalah manusia tidak hanya miskin harta tetapi juga miskin identitas.  Kesadaran akan penghargaan terhadap hak asasi manusia justru lahir dalam situasi ketertindasan dan dominasi. Pencarian identitas untuk penentuan nasib sendiri akan menjadi pilihan bagi mereka yang hidup dalam kungkungan kaum penjajah.

2.4. HUBUNGAN ANTARA KEKUASAAN DAN KEKERASAN
Kekuasaan dan kekerasan memiliki hubungan yang sangat erat dalam politik kekerasan. Hal ini terjadi karena penguasa yang otoriter bisa saja melegitimasi kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu. Sesorang yang memiliki kedudukan terpenting dalam sebuah struktur, akan memonopoli kekuasaan; menguasai seluruh bidang kehidupan manusia. Apabila seseorang memiliki daya persuasif yang kuat dengan dukungan kekuatan dari kekuasaannya maka dia akan menjadi sangat otoriter. Kalau kekuasaan itu tetap dipertahankan dengan jalan kekerasan, maka akan terjadi mafia politik yang tidak sehat. Segala kebijakan politik berpotensi kekerasan. Bidang monopoli kekuasaan akan menjadi sangat luas, di antaranya di bidang kekuasaan politik, militer, ekonomi, pendidikan dan ideologi. 
Untuk menjelaskan hubungan antara kekuasaan dan kekerasan, penulis mengutip pendapat Machiavelli dan Max Weber, karena keduanya memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Menurut Weber kekuasaan atas manusia lain berlandaskan pada instrumen legitimasi. Konkretisasi dari legitimasi kekuasaan ini adalah kekerasan. Menurutnya kekuasaan merupakan rahim lahirnya kekerasan atas orang lain. Sementara itu, Machiavelli, penguasa dapat melegitimasi segala cara untuk tetap mempertahankan kekuasaannya.  Kekuasaan dan kekerasan dalam ranah percaturan politik, selalu saling mengandaikan. Kekuasaan berpotensi kekerasan dan kekerasan bisa dipakai sebagai instrumen pelegitimasian kekuasaan.
Kekuasaan dan kekerasan merupakan analogi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Jika keduanya berjalan beriringan, maka terjadi sikap dominasi dalam tubuh pemerintah dengan kekerasan sebagai instrumen.  Kekuasaan dan kekerasan merupakan dasar terjadinya politik kekerasan. Politik kekerasan merupakan salah satu strategi penguasa untuk tetap mempertahankan kedudukannya dalam pemerintahan ataupun sebuah kebijakan yang bermuatan kekerasan dengan tujuan untuk tetap menindas dan menjajah orang atau kelompok lain. Dalam politik kekerasan, bukan kekerasan yang dipolitisir demi sebuah tujuan, tetapi politik itu sendiri adalah kekerasan, di mana semua kebijakan politik penguasa bermuatan kekerasan.

2.5. KEKUASAAN: KONSEP JOHAN GALTUNG TENTANG POLITIK KEKERASAN
2.5.1. Pengantar
Politik kekerasan terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan. Yang diselidiki dalam politik kekerasan adalah apakah tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan dalam sebuah negara merupakan kekerasan murni atau bernuansa politik? Apabila kekerasan itu bernuansa politik untuk mencapai tujuan dan kepentingan penguasa, maka kekerasan-kekerasan itu disebut sebagai politik kekerasan, di mana kekerasan dipakai sebagai instrumen. Dalam politik kekerasan aspek kekuasaan militer dengan metode komando sangat diperhitungkan.  Karena itu, militerisme merupakan instrumen ampuh penguasa untuk membuat keputusan-keputusan politis.
Politik kekerasan dengan sistem militerisme adalah suatu kebiasaan yang buruk, seperti menyerang negara atau bangsa lain dan bentrokan-bentrokan lain. Biasanya hal ini dilakukan atas perintah penguasa sehingga terjadi pembunuhan dan penghancuran melalui perang dengan negara lain dan perang dalam negeri sendiri. Hal ini membawa banyak penderitaan bagi masyarakat kecil dan mereka yang melawan kemapanan yang ada.  Ini adalah penggunaan kekuasaan yang terlampau otoriter dan kebijakan politik dipenuhi dengan kekerasan-kekerasan yang berdampak  kriminal.
 Contoh kekerasan politik ini dapat dilihat dalam kekerasan pasca-referendum 1999 di Timor-Timur. Dalam kesepakatan 5 Mei 1999 di New York diputuskan bahwa Indonesia diberi tanggung jawab penuh untuk menjaga keamanan dalam proses referendum, namun yang terjadi adalah Indonesia ingkar janji. Kekerasan itu ternyata sudah dirancang dalam kebijakan politik sebelumnya lewat pembentukan kelompok milisi dan pembunuh-pembunuh bayaran. Dengan demikian, keputusan 5 Mei hanyalah sebatas wacana karena pembumihangusan adalah target Jakarta.
2.5.2.  Kekuasaan Fragmentatif
Politik kekerasan juga sering mempraktekan sistim kekuasaan fragmentatif. Yang dimaksud dengan kekuasaan fragmentatif adalah suatu strategi yang digunakan oleh penguasa atau suatu kelompok untuk menguasai kelompok atau bangsa lain dengan cara memecah belah kelompok atau bangsa bersangkutan. Kata fragmentasi berasal dari pepatah Romawi devide et impera yang berarti memecah belah dan menguasai.   Dalam politik fragmentatif sang penguasa menggunakan otoritasnya untuk memecah belah masyarakat baik secara ideologis maupun dalam tataran praktis dengan sasaran untuk tetap menguasai mereka. 
Dengan menggunakan strategi kekuasaan fragmentatif, sang penguasa seolah-olah tidak melakukan kekerasan karena lebih banyak berada di balik layar dan mengklaim bahwa yang terjadi adalah perang saudara dan peperangan antar kelompok pribumi. Padahal, kalau diselidiki secara kritis ternyata penguasalah yang menjadi aktor utama kekerasan demi mencapai tujuan politisnya, yaitu ingin menguasai orang lain atau negara lain dengan melancarkan propaganda dan teror serta menghancurkan masyarakat dengan politik devide et impera (memecah belah dan menguasai). 
Politik fragmentatif sering digunakan oleh penjajah untuk mengacaukan situasi, dengan itu mereka dapat menguasai dan menaklukkan penduduk pribumi. Dalam politik kekerasan hampir semua hak asasi manusia ditekan dan berada di bawah kontrol penguasa. Bahkan hak untuk hidup pun berada di tangan penguasa. Karena itu, semua kebijakan politik penguasa disebut sebagai kebijakan politik kriminal (Criminal Policy).   Penguasa menerapkan sikap represif dan arogan. Kebebasan berbeda pendapat, kemerdekaan berserikat, keterbukaan dan demokrasi, semuanya dipasung.  Segala sesuatu direduksi ke dalam sistem pemerintahan totaliter, yang pada gilirannya menjadi penguasa sumber segala kejahatan, dan hukum pun tidak bekerja sesuai dengan fungsinya.

2.5.3. Propaganda, Teror dan Pembunuhan
Pemerintah atau penguasa yang memilih militer menjadi sumber kekuatannya, cenderung terlibat dalam aksi-aksi kekerasan dan secara terang-terangan mengorganisir ataupun merekrut massa untuk melakukan teror dan intimidasi atas nama penguasa atau pemerintah. Menurut Galtung dalam aksi propaganda dan teror, kekerasan cenderung dilegitimasi karena di sini kekerasan dan kampanye teror dilakukan secara terang-terangan. Dalam hal ini penguasa mengubah warna moral, yang salah menjadi benar dan yang benar disalahkan. Misalnya seseorang membunuh atas nama negara atau penguasa adalah benar dan atas nama diri sendiri adalah salah.  Pada tataran ini kebutuhan untuk bertahan hidup (survival needs), kebutuhan kesejahteraan hidup (well-being needs), kebutuhan identitas diri (identity needs) dan kebutuhan akan kemerdekaan (freedom needs) diredukdi ke dalam represi, penindasan dan pembunuhan. 
Rezim totaliter secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasi segala sisi kehidupan manusia. Mekanisme propaganda dan teror dipakai untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Propaganda dan teror tidak hanya terbatas pada tataran kekerasan tetapi lebih dari itu sering terjadi indoktrinasi ideologis. Dalam indoktrinasi ideologis, seseorang atau suatu kelompok diajarkan sedemikian rupa sehingga mereka menjadi pribadi yang patuh dan setia melaksanakan apa yang ditanamkan dalam dirinya. Propaganda dan teror merupakan sebuah bentuk politik kekerasan, di mana, sekelompok orang diprovokasi sedemikian sehingga mereka menjalankan perintah sang penguasa. Mereka ini diperalat untuk melakukan segala bentuk kekerasan demi sebuah tujuan penguasa yakni tujuan dominasi. 
Pada dasarnya propaganda dan teror merupakan politik representasi.  Massa dan kerumunan orang yang melakukan aksi teror tidak lain adalah manifestasi dari kekuasaan sang penguasa. Massa yang melancarkan tindakan kekerasan dan pembunuhan merasa tidak bersalah, karena mereka ini diperintah oleh orang lain untuk menghabisi target-target yang telah digariskan oleh penguasa otoriter dengan tangan besi.   Berbicara soal politik kekerasan dalam pembahasannya tentang propaganda dan teror, tidak dapat disangkal bahwa negara adalah satu-satunya institusi yang secara sah memonopoli penggunaan kekuatan pemaksaan seperti militer, polisi, dan peradilan. Kekerasan dilegitimasi negara untuk mempertahankan kekuasaan. Pada awalnya kekerasan tersebut langsung dilakukan oleh negara. Namun dengan merebaknya isu hak asasi manusia, maka negara tidak cukup menggunakan apparatus negara sebagai pemaksa, tetapi melibatkan masyarakat atau sekelompok orang yang taat pada penguasa. Benih kekerasan telah merebak di tengah masyarakat lewat pengorganisasian kriminal. Negara telah menggerakkan masyarakat untuk melakukan kekerasan. 
Pertanyaan dasar yang mesti dikemukakan di sini adalah apakah dalam politik kekerasan penguasa otoriter terlibat aktif dalam melakukan aksi kekerasan, teror dan pembunuhan? Jawaban untuk pertanyaan ini menurut Galtung jawabannya adalah “ya”. Alasannya adalah dalam politik kekerasan penguasa bisa terlibat aktif dalam aksi kekerasan atau pun melalui kebijakan politik bermuatan kekerasan yang bersifat indoktrinatif, sehingga terjadi pembunuhan massal atas nama pemerintah/penguasa demi tercapainya tujuan politis penguasa. Dalam hal ini pemerintah adalah provokator sekaligus aktor utama kekerasan. Oleh karena itu Galtung menganalogikan kekuasaan itu dengan mengatakan bahwa “bagi orang yang di tangannya ada palu, dunia ini tampak seperti paku”.  



2.5.4. Imperialisme 
Galtung berpendapat bahwa imperialisme pertama-tama berangkat dari kekuasaan (power), di mana melalui kekuasaan itu satu negara menguasai satu atau beberapa negara lain melalui sekelompok kecil elit yang berperanan sebagai pangkalan. Bentuk-bentuk kekuasaan yang turut berpengaruh bagi lahirnya imperialisme adalah eksploitasi, fragmentasi dan marginalisasi. Namun dalam hal ini eksploitasi merupakan unsur pokok, bahkan menjadi raison d’etre (alasan adanya) imperialisme.  
Imperialisme merupakan salah satu bentuk politik kekerasan, karena dengan menguasai negara atau kelompok lain dengan sendirinya terjadi sebuah kekerasan. Faktor lahirnya kekerasan merupakan sebuah kebijakan politik penguasa untuk menguasai dan menjajah. Imperialisme merupakan sebuah strategi politik kaum penguasa untuk menindas dan memarginalisasi negara atau kelompok yang dikuasai. 

2.6. POLITIK KEKERASAN DAN OPSI MILITER
Penguasa yang otoriter memerintah dengan tangan besi, yakni memilih militer sebagai kekuatan pendukung utama dalam menjalankan kekuasaannya. Militer yang adalah sebuah institusi keamanan dijadikan sebagai instrumen penguasa untuk mencapai tujuan-tujuan politisnya. Penguasa yang militeristik adalah penguasa yang mempunyai ambisi besar untuk mendominasi sebuah negara atau wilayah lain. Ambisi itu diaktualisasikan dalam bentuk kekerasan, baik kekerasan langsung atau pun tidak langsung. Tindakan dan aksi-aksi teror, intimidasi dan pembunuhan terjadi setiap saat. 
Galtung pernah ke Indonesia sebagai salah satu narasumber dalam lokakarya tentang konflik sosial pada akhir Oktober 2007. Dia lebih banyak menekankan bahwa perdamaian hanya bisa terjadi, tergantung dari apakah penguasa memilih militer atau tidak. Dalam lokakarya tersebut Galtung memberikan sedikit gambaran tentang kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia di Timor-Timur. Ketika diwawancarai journalis tentang maraknya tindakan kekerasan pasca-Soeharto, dia memberikan jawaban tentang citra penguasa Indonesia yang selalu memerintah dengan kekuatan militer, khususnya dalam pendudukan Indonesia di Timor-Timur. Kutipan di bawah ini adalah pandangan Galtung tentang dominasi militerisme di Timor-Timur periode pendudukan Indonesia.

Kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Jawabannya tergantung pada apakah sebuah negara memilih opsi militer atau tidak. Ketika Anda memilih opsi militer, cepat atau lambat Anda akan menghadapi masalah. Itu yang terjadi dengan apa yang pernah dilakukan Jakarta terhadap Timor-Timur. Kekerasan selalu memukul balik ( ... ) Para politisi hanya punya dua gagasan, yakni nation-state atau pemisahan dengan kemerdekaan. Tetapi yang terakhir ini tidak mereka sukai. Padahal, ada banyak pilihan di antara keduanya. Bisa federasi atau konfederasi. Sebenarnya, hubungan antara Timor-Timur dan Indonesia lebih tepat dalam bentuk konfederasi. Dengan begitu hubungan tetap terjalin tetapi juga ada peluang rekonsiliasi untuk memperbaiki masa lalu. Tidak satupun politisi Jakarta mendukung gagasan itu. 

Galtung pun melihat bahwa politik kekerasan pada zaman modern sering dilakukan oleh negara-negara adikuasa, salah satunya adalah Amerika Serikat. Sadar atau tidak sekarang telah terjadi militerisme global dan dominasi terus berlanjut. Negara yang mempunyai kuasa di segala bidang cenderung menganut sistem militerisme untuk menaklukkan negara-negara berkembang dengan tujuan untuk menguasai sekaligus mengeksloitasi sumber daya alam di negara tersebut. Negara-negara berkembang selalu dikorbankan baik secara politik maupun ekonomi.  Kekuasaan telah menjadi alat dominasi terhadap mereka yang lemah dan miskin. Semua kebijakan politik kaum penguasa selalu berisi kekerasan yang merugikan semua orang dan menghambat negara atau kelompok lain untuk mengaktualisasikan potensi-potensi dalam dirinya. Dengan demikian, dominasi pun tetap berlanjut dalam sejarah hidup manusia. Itulah sebabnya negara-negara jajahan menuntut adanya otonomi agar bisa membebaskan diri dari kuasa kaum otoriter. Dari situasi seperti ini lahirlah Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang kemudian disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut Galtung politik militerisme adalah sebuah bentuk kebijakan politik pemerintah. Kekerasan dan perang merupakan pilihan pemerintah, karena kekerasan merupakan produk dari kebijakan politik yang bernuansa kekerasan. Tujuan utama dari kebijakan itu adalah untuk menguasai dan tetap mempertahankan status kekuasaan yang ada. Dalam negara yang totaliter dan militeristik, menurut Galtung, akan sering terjadi perang agresif, di mana negara/penguasa menjadi dalang sekaligus provokator utama dari segala kekerasan yang berskala besar. Hal ini disebut oleh Galtung sebagai belligerence (keterlibatan dalam perang) dan bellicisme (kecenderungan untuk melakukan perang).  Tujuan semua ini adalah untuk menguasai dan menindas kelompok lain. Militer sebagai kekuatan sekaligus instrumen untuk mencapai tujuan itu.

2.7. RANGKUMAN
Kekerasan-kekerasan yang turut mempengaruhi lahirnya politik kekerasan dalam sebuah negara adalah kekerasan personal/langsung, kekerasan struktural dan representatif. Di mana kekerasan-kekerasan ini memanifetasikan diri dalam kekerasan ideologis, punitif, fragmentatif, propaganga, teror, intimidasi dan pembunuhan. Perlu dijelaskan juga bahwa kadang kekerasan-kekerasan yang telah disebutkan di atas membentuk satu mata rantai yang panjang dan berkorelasi satu sama lain. Karena itu untuk menilai sebuah tindakan kriminal, membutuhkan kejelihan dari penulis untuk menempatkan secara tepat karakter sebuah kekerasan. Oleh karena kekerasan-kekerasan ini saling berkaitan, maka tugas penulis adalah mencari aktor utama dan tujuan dari sebuah kekerasan. 
Akhirnya penulis sampai pada satu kesimpulan bahwa politik kekerasan cenderung menggungulkan ekstremitas diri dan merendahkan/menindas kelompok lain dengan menggunakan tindakan kekerasan, eksploitasi, represi dan pemusnahan. Kebijakan politik yang bermuatan kekerasan itu bertujuan untuk membawa sang penguasa ke atas puncak kekuasaan dan untuk mempertahankan kekuasaannya. Apabila ada pihak lain yang ingin mengganggu kemapanan itu, maka penguasa tersebut akan tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer untuk melindungi jabatan dengan cara propaganda, teror dan pembunuhan. Dengan demikian politik kekerasan akan mencapai titik dehumanisasi,  yaitu perendahan martabat manusia, krisis kebebasan dan terjadi pembunuhan massal demi tercapainya tujuan politik sang penguasa. Karena itu, politik kekerasan mencabut kebebasan dasar manusia.


BAB III 

TINDAK KEKERASAN MILISI AITARAK PASCA-REFERENDUM
(30 AGUSTUS 1999 SAMPAI 20 MEI 2002)


3.1. REFERENDUM 1999 DI TIMOR-TIMUR
3.1.1. Pengertian dan Pengantar Umum
Secara etimologis kata referendum berasal dari bahasa Latin (Réferéndum) yang berarti permintaan keputusan dari suara orang banyak (rakyat).  Dalam jajak pendapat biasanya rakyat dimintai pendapat untuk suatu keputusan politik tertentu. Referendum ini lebih mengarah pada konsultasi rakyat.  Konsultasi yang dimaksud di sini adalah soal penentuan keputusan berdasarkan kesadaran dan nurani rakyat, yakni memilih atau menolak suatu pilihan politik tertentu. Konsultasi rakyat biasanya dilakukan melalui pemilihan tertutup, rahasia dan berlangsung serentak dalam waktu yang ditentukan. Oleh karena pemunggutan suara ini bersifat rahasia dan tertutup maka hasilnya juga bersifat mengikat. Artinya keputusan itu valid dan diterima sebagai keputusan yang sah.
Tanggal 30 Agustus 1999 adalah momentum bersejarah bagi rakyat Timor-Timur, di mana rakyat dimintai pendapat melalui pemunggutan suara untuk menentukan apakah Timor-Timur tetap bergabung dengan NKRI ataukah memilih untuk berpisah dan membentuk sebuah negara baru. Referendum di Timor-Timur terlaksana dengan baik, namun ada pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab, bahkan kurang dewasa untuk menerima keputusan rakyat. Indonesia meninggalkan catatan hitam bagi dunia internasional dan mencemari UUD 1945 (bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa) dengan cara tidak menghargai kemerdekaan bangsa lain. Kebebasan orang lain ditekan dengan sistem militerisme. Keberagaman kelompok direduksi ke dalam mekanisme uniformitas. Hal ini adalah sebuah pelecehan terhadap jati diri bangsa Indonesia yang berasaskan pluralitas (Bhinneka Tunggal Ika). Krisis penghargaan terhadap kebebasan orang lain/kelompok lain ini merupakan langkah awal kejatuhan demokratisasi Indonesia. Mengutip kata-kata Megawati Soekarno Putri “Indonesia sedang jatuh ke titik terendah dalam sejarahnya”. 
Referendum di Timor-Timur merupakan reaksi rakyat terhadap pendudukan Indonesia yang bersifat brutal dan tidak menghargai hak hidup rakyat dengan melancarkan pembunuhan massal dan tindakan-tindakan kriminal lainnya yang cukup mengganggu kehidupan rakyat. Singkat kata rakyat dijajah di rumahnya sendiri. Itulah sebabnya dunia internasional pun cukup prihatin dengan keadaan itu dan segera menyelesaikan masalah Timor-Timur di percaturan politik dunia dengan menekan Indonesia untuk memberikan kebebasan kepada rakyat agar memilih sesuai dengan nurani, apakah tetap bergabung atau merdeka. Referendum juga merupakan bentuk penghapusan penjajahan. Apakah Indonesia layak disebut sebagai penjajah? Berdasarkan tindakan kriminal yang dilakukan oleh Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung, jawabannya tentu “ya”. Kekerasan-kekerasan itu sekarang meninggalkan luka batin bagi keluarga korban, terutama nasib para janda yang tidak menentu akibat kekejaman Indonesia yang telah menculik suami mereka, banyak ibu yang sampai saat ini masih menanti kehadiran putera-puteri mereka walaupun hidup mereka telah dicabut oleh rezim penjajah; banyak anak di Timor-Timur tidak mengenal orang tuanya karena mereka adalah buah dari pemerkosaan dan kekerasan seksual para tentara Jakarta yang berlabelkan pancasila. Itulah latar belakang mengapa harus ada referendum. 
Referendum di Timor-Timur merupakan langkah awal berakhirnya kebersamaan dengan Indonesia. Waktu itu Timor-Timur merupakan propinsi termuda. “Kebersamaan” ini mencatat banyak peristiwa: dari peristiwa invasi hingga integrasi, dari aksi-aksi damai hingga ke tragedi-tragedi berdarah. Jejak-jejak berdarah di Timor-Timur sebenarnya mengisahkan bahwa ternyata Pancasila yang dianut oleh RI adalah sebuah simbol sandiwara. Mengapa sandiwara? Alasannya jelas bahwa penguasa bertingkah di luar batas kewajaran manusiawi. Alasan-alasan inilah yang menjadi dasar terlaksananya konsultasi rakyat untuk membuktikan apakah kehadiran Indonesia benar-benar menjadikan Timor-Timur bagian dari Indonesia atau hanya mau menciptakan kekerasan dan kejahatan yang berskala besar. Hasil referendum 1999 telah menunjukkan bahwa rakyat tidak ingin bergabung karena memang sejak awal mereka bukan berintegrasi tetapi diintegrasikan. Karena itu rakyat memilih untuk berpisah daripada merasa terjajah di daerahnya sendiri. Menjelang referendum telah terjadi teror dan ancaman bahwa kalau prointegrasi kalah dalam pemungutan suara, darah akan mengalir.  

3.1.2. Penyelenggara Referendum
Penyelenggara referendum di Timor-Timur adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) yang langsung di bawah misi khusus yang disebut UNAMET (United Nation Administration Mission in East Timor). Misi ini di bawah pimpinan Ian Martin. UNAMET mengemban tugas yang berat. Sebagai utusan PBB, lembaga ini harus benar-benar menjaga netralitas dalam menjalankan tugas dan karyanya. Dalam situasi politik yang mencekam, UNAMET tidak begitu bebas menjadi figur penengah karena prasangka negatif dari pihak pro-integrasi bahwa kehadiran PBB-UNAMET hanya untuk memerdekaan Timor-Timur. Karena itu PBB selalu dinilai tidak adil dalam proses jajak pendapat.  Kendati demikian UNAMET tetap konsekuen dengan misi yang diembannya, yakni menyelenggarakan jajak pendapat sesuai dengan prosedur yang telah disepakati dalam perjanjian 5 Mei 1999 di New York.
UNAMET dalam menjalankan misinya, tentu membutuhkan bantuan lokal yakni merekrut staf lokal untuk turut menyukseskan proses referendum, seperti penerjemah, polling staf dan sebagian bertugas sebagai pemantau (observator) lapangan. Para staf lokal PBB ini direkrut secara terbuka dan bebas. Artinya mereka yang mau bergabung tidak dipandang dari latar belakang politiknya, entah itu pro-integrasi atau pro-kemerdekaan. Syarat-syarat untuk mengikuti referendum adalah: orang Timor-Timur asli atau salah satu orang tuanya dilahirkan di Timor-Timur, memiliki identitas kewarganegaraan: KTP (Kartu Tanda Penduduk), Akte Kelahiran dan Surat Permandian dari Gereja, berumur tujuh belas tahun ke atas (17 tahun), bagi yang sakit, cacat dan tidak bisa membaca diminta pendapatnya oleh  petugas, dll.
Kegiatan UNAMET selalu dipantau oleh tim pemantau, baik dari PBB, pihak pro-integrasi maupun pro-kemerdekaan. Alasan pemantauan tersebut adalah untuk memberikan catatan-catatan kritis apabila mereka menyimpang dari asas netralitas. Para pemantau juga berhak melaporkan kepada pihak-pihak terkait terutama PBB apabila terbukti bahwa UNAMET melakukan pelanggaran/memihak  salah satu kelompok. Referendum di Timor-Timur dimaksudkan untuk memastikan entahkah rakyat masih mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia ataukah ingin menentukan nasibnya sendiri dan berdiri sebagai sebuah negara. PBB, dalam hal ini UNAMET mesti bertugas sesuai dengan keputusan 5 Mei bahwa mereka benar-benar bekerja secara jujur dan tidak memihak siapa pun.
Apakah UNAMET benar-benar konsisten dengan keputusan 5 Mei tentang sebuah misi yang netral dan merangkum kedua kelompok, yakni pro-kemerdekaan dan pro-integrasi? Ada begitu banyak prasangka negatif terhadap cara kerja UNAMET, terutama dari kalangan Indonesia. UNAMET dituduh memihak pro-kemerdekaan, karena itu mereka tak segan-segan melancarkan aksi-aksi kekerasan kepada pihak UNAMET. Sesuai dengan kesepakatan 5 Mei referendum bisa dilakukan di Timor-Timur dan di luar Timor-Timur. Referendum yang dilaksanakan di luar Timor-Timur, mengingat banyak orang Timor-Timur berada di luar negeri, baik berstatus pengungsi atau pun mereka yang mencari suaka politik. Tempat-tempat itu antara lain: Indonesia, Australia (ada empat tempat), Macau, New York, Lisabon dan Maputo (Mocambique). Jumlah penduduk yang mendaftar sebesar 446.666. Di Timor-Timur 433.576  dan 13.090 jiwa di luar negeri.  
Selama proses referendum milisi selalu memprovokasi situasi dan menakut-nakuti rakyat untuk memilih otonomi. Propaganda itu biasa dilakukan dengan terang-terangan dan melalui dokumen-dokumen rahasia yang sempat bocor ke tangan wartawan. Dokumen-dokumen itu berisi rencana penghancuran dan pembunuhan massal apabila pro-integrasi kalah dalam jajak pendapat. Dokumen-dokumen itu antara lain: dokumen H. R. Garnadi, Informasi tentang target pembunuhan, laporan tentang latihan perang para milisi di NTT untuk membumihanguskan Timor-Timur jika otonomi kalah, rapat rahasia di Makorem Dili perihal kampanye teror dan dikatakan bahwa mereka tidak peduli dengan kehadiran PBB, Rahasia Tokoh-Tokoh Apodeti dan Perwira-Perwira Republik Indonesia. 

3.1.3. Tanggung Jawab Keamanan
Berdasarkan kesepakatan 5 Mei di New York urusan keamanan dipercayakan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini POLRI dan TNI. Pertanyaan dasar pada awal tulisan ini adalah apakah Indonesia sungguh-sungguh bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan itu? Di mana peran Indonesia selama kekerasan demi kekerasan terjadi di bumi Timor-Timur? Pemerintah Indonesia diberikan tanggung jawab untuk menjaga kemanan di Timor-Timur. Oleh karena itu Indonesia mengirim personil POLRI dan TNI yang kemudian diberi nama Pasukan Kontingen Loro Sa’e (Timur) yang diperkirakan mencapai 35.000 personel; jumlah yang lebih dari cukup untuk menjaga keamanan di daerah yang penduduknya 800.000 jiwa. TNI dikomandoi oleh Mayjen Kiki Syahnakri, Zacky Anwar Makarim dan Pangdam Udayana Adam Damiri. POLRI di bawah komandan Brigjen J. D. Sitorus dan Kolonel J. Suryo Prabowo dan masih banyak petinggi militer lainnya. Semua komponen satuan tentara dan polisi menjalankan misi yang sama yakni menjaga ketertiban dan keamanan. Di bawah ini ungkapan ketidakpercayaan dan kekecewaan Xanana Gusmao atas cara kerja dan skenario politik militer Indonesia.
Sekarang, ada dua orang yang sangat saya benci, Zacky Anwar Makarim dan Adam Damiri, untuk apa yang telah mereka lakukan untuk rakyat kami (...) waktu itu Pak Zacky meyakinkan saya kalau TNI sudah memasuki paradigma baru. Kita berteman, kita saling tahu, tetapi kenyataannya,... 


Terlepas dari entah bertanggungjawab dengan tugas atau tidak, dalam catatan PBB Indonesia wajib menjaga keselamatan rakyat Timor-Timur dalam proses referendum. Segala sesuatu yang berkaitan dengan keamanan dan keselamatan masyarakat berada di pundak Indonesia. Sebutan untuk para personel keamanan ini disebut ITFET (Indonesian Task Force for East Timor)  yang terdiri dari Angkatan Darat, Laut dan Udara. Indonesia diberi kuasa untuk melucuti senjata otomatis yang berada di tangan para milisi. Pada waktu itu senjata sudah menyebar di mana-mana hanya tunggu kapan Timor-Timur meledak. Persoalannya adalah sulit membedakan ruang operasi antara Polisi dan Tentara. Kedua institusi ini hanya dibedakan soal nama tetapi secara operasional keduanya berada di bawah payung militer. Itulah sebabnya tanggung jawab formal yang diberikan oleh PBB tidak berjalan maksimal dan cenderung apatis. Hal ini membuka kemungkinan adanya kekerasan dan pembunuhan massal.
Sejak pendudukan Indonesia di Timor-Timur, institusi apapun yang ada selalu berada dalam bayang-bayang militerisme, dan ada sikap dominatif TNI atas institusi lainnya. Mengapa demikian? Alasannya jelas bahwa kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru adalah sistim militerisme sehingga sistem ini sudah berakar kuat dalam tubuh militer. Ada kecenderungan mensubordinasi institusi lainnya. Persoalan serupa muncul di Timor-Timur ketika PBB memberikan mandat keamanan kepada Indonesia. POLRI disubordinasi sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Kendati demikian keduanya masih berada dalam kendali Menteri Pertahanan Jenderal Wiranto  sehingga tugas dan pengabdian mereka selalu berada dalam koridor dan ketentuan Wiranto. Segala macam keputusan berasal dari Mentri Keamanan Indonesia.
Pemberian tanggung jawab keamanan kepada Indonesia adalah sebuah kekeliruan dari kebijakan politik PBB, karena Jakarta tidak akan menjadi penengah dan penjaga yang baik berhubung tahun-tahun sebelumnya sudah terjadi perekrutan milisi dan kaum pembela integrasi. Tujuan utamanya adalah jika otonomi kalah berarti darah mengalir. Jadi, rencana penghancuran dan pembumihangusan adalah target Jakarta sebelum meninggalkan bumi Timor-Timur, maka mustahil kalau Jakarta tampil sebagai penjaga keamanan yang baik dan bijaksana. Kekuatan militer dan milisi yang kian marak, ditambah dengan beredarnya senjata ilegal ke tangan pemuda pembunuh bayaran, makin membuat Indonesia tidak bisa diharapkan menjadi penjaga keamanan. Kekerasan demi kekerasan terjadi, pembunuhan massal, pemindahan paksa, teror dan intimidasi bukanlah alasan untuk mengatakan Indonesia tidak mampu menjaga stabilitas, karena semua ini sudah ditargetkan sebelum PBB memberikan mandat. Dalam hal keamanan di Timor-Timur, PBB seolah-olah terjebak dalam “skenario” politik Indonesia dan rakyat Timor-Timur tetap menjadi korban. 
Memberikan tanggung jawab keamanan dan ketertiban kepada militer dan kepolisian Indonesia adalah bukanlah tindakan yang bijaksana, setidaknya bagi pihak-pihak yang telah mengetahui sejarah pencaplokan Timor-Timur. Tetapi bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong lebih dari itu untuk ketentuan keamanan yang lebih kuat (...) banyak yang berpendapat pada waktu itu (dan terus berusaha menegaskan), akan merupakan “perusak perundingan” yang dengan demikian menghilangkan kesempatan bagi rakyat Timor-Timur untuk mengungkapkan keinginan politik mereka. 

3.1.4. Opsi Yang Ditawarkan Kepada Rakyat Timor-Timur
Setelah Indonesia cukup mendapat tekanan dari dunia internasional, dan bertepatan dengan lengsernya Soeharto dari jabatan kepresidenan Republik Indonesia, B. J. Habibie yang baru saja menjadi presiden memberikan dua opsi kepada rakyat Timor-Timur, yakni otonomi yang sangat diperluas atau disebut SARET (Special Autonomous Region of East Timor).  Tugas Indonesia dalam opsi ini yaitu mengendalikan masalah luar negeri, mata uang, pertahanan dan keuangan. Opsi kedua adalah penentuan nasib sendiri sebagai konsekuensi dari penolakan terhadap opsi pertama. Dua opsi itu secara resmi ditetapkan dalam keputusan sidang kabinet di Bina Graha tertanggal 27 Januari 1999, kemudian diumumkan secara resmi oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas. 


3.1.4.1. Opsi Otonomi Luas 
Pihak pro-integrasi dengan agresif melakukan sosialisasi usulan otonomi dengan memaksa penduduk mengibarkan bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing dan bersumpah setia pada Indonesia. Kesepakatan 5 Mei melarang kegiatan seperti itu, membatasi kampanye secara ketat pada periode yang telah ditentukan setelah pendaftaran pemilihan yaitu tanggal 14-26 Agustus. Kesepakatan ini juga melarang pejabat pemerintah melakukan kampanye politik (kecuali kedudukan pribadi) dan mengharuskan netralitas mutlak TNI dan Polisi. Akan tetapi pada awal misi, para pejabat UNAMET menyaksikan upacara-upacara di depan umum yang dihadiri oleh pejabat pemerintah dan TNI. Mereka mengharuskan penduduk desa dalam menyatakan niatnya untuk mendukung otonomi. Karena itu PBB dua kali memutuskan menunda hari dimulainya referendum yang awalnya direncanakan tanggal 8 Agustus. Penundaan itu merupakan tindakan yang disengaja oleh PBB dengan maksud untuk menunjukkan kegagalan Indonesia dalam memenuhi kewajiban mereka. Secara internasional, tindakan ini mempermalukan Jakarta.
Setelah B. J. Habibie menjabat sebagai Presiden, rakyat Timor-Timur diberikan tawaran “status khusus”  yakni otonomi luas di mana Timor-Timur diberi kebebasan untuk menjalankan urusan dalam daerah tanpa harus berkonsultasi dengan Jakarta. Meskipun demikian urusan luar negeri, pertahanan dan keamanan, dan pengangkatan jabatan adalah tanggung jawab pemerintah pusat. Tawaran status khusus ini ditolak oleh pro-kemerdekaan, karena status ini tidak memberikan alternatif ataupun pilihan untuk menempuh penentuan nasib sendiri. 
Pada tanggal 18 Juni 1999 Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas berkunjung ke New York untuk memberikan gagasan otonomi kepada Sekjen PBB Kofi Annan. Namun persoalannya adalah PBB dan Portugal memahami otonomi sebagai sebuah masa transisi menuju kemerdekaan/penentuan nasib sendiri (self of determination) dalam jangka waktu tertentu. Indonesia memiliki konsep yang berbeda. Otonomi yang ditawarkan kepada rakyat Timor-Timur adalah tahap akhir bagi Timor-Timur untuk memilih tetap bergabung dengan Indonesia dan menutup semua perjuangan rakyat untuk menentukan nasib sendiri.  
Sebelum kerangka otonomi khusus dirampungkan, Indonesia mengumumkan perubahan kebijakannya, yakni memberikan kesempatan kepada rakyat Timor-Timur, apabila menolak otonomi yang sangat diperluas maka Indonesia akan mencabut undang-undang bulan Juni 1976 yang memasukkan Timor-Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dengan kata lain apabila mayoritas rakyat menolak otonomi, maka secara otomatis Timor-Timur berpisah dengan Indonesia dan membentuk sebuah negara baru.
Dengan demikian, opsi otonomi adalah sebuah pilihan yang diputuskan dalam perundingan tripartit,  yakni pertemuan antara PBB, Portugal dan Indonesia. Otonomi berarti memilih untuk tetap bergabung dengan Indonesia namun dalam kebijakan-kebijakan tertentu Timor-Timur bertindak secara mandiri. Simbol opsi otonomi dalam kartu pemilihan adalah peta Timor-Timur dengan bendera Merah Putih berkibar di atasnya.

3.1.4.2. Opsi Merdeka
Opsi merdeka merupakan lawan dari opsi otonomi, apabila mayoritas rakyat memilih merdeka, maka Timor-Timur dapat berdiri sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri, dan membentuk sebuah negara yang berdiri sejajar dengan negara-negara lain di dunia. Opsi merdeka ini seringkali dianggap oleh pro-integrasi sebagai akhir dari segala sesuatu, karena masa pendudukan akan segera berakhir kalau rakyat memilih untuk merdeka. Para pendukung kemerdekaan pada masa-masa pendaftaran sering mendapat teror karena anggapan pro-integrasi bahwa mereka akan menang. Alasannya karena mayoritas masyarakat tidak berpendidikan dan mudah diprovokasi. Tetapi kenyataannya untuk hal ini provokasi dan sogok tidak memadai. Rakyat telah mengenal apa dan siapa itu Indonesia pada masa pendudukannya, apalagi militer.
Opsi merdeka bersimbolkan peta Timor-Timur dan gambar bendera CNRT (Conselho Nacional da Recistencia de Timorense/Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Timor). Bendera CNRT di mata rakyat adalah lambang dan wadah pemersatu untuk berjuang menentukan nasibnya sendiri dari belenggu penjajah. Xanana Gusmao adalah pimpinan tertinggi CNRT, yang tidak mengikuti referendum karena berada dalam penjara Cipinang, Indonesia.
Berdasarkan jadwal yang ditentukan oleh PBB, tanggal 14-26 Agustus 1999 adalah masa kampanye. Kedua kelompok melancarkan kampanye terbuka dan berusaha supaya tidak terjadi kekerasan dan provokasi selama masa kampanye. Indonesia bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban dan keamanan sehingga situasi tetap kondusif. Berdasarkan kesepakatan 5 Mei 1999, Sebelum hari jajak pendapat/referendum semua kelompok bersenjata berada di baraknya masing-masing sehingga rakyat boleh memberikan keputusan yang bebas untuk menentukan masa depannya. Dilarang melancarkan aksi teror, kedua kelompok harus menunjukkan sikap kedewasaannya kepada dunia. Kantonisasi untuk Falintil  berada di sektor timur yakni Viqueque, sedangkan milisi tetap merajalela dalam melancarkan kekerasan fisik dan mental, “kalau otonomi kalah darah mengalir”.

3.1.5. Pro-Kemerdekaan Menang Mutlak
Sehari sebelum pengumuman hasil referendum Sekjen PBB menyampaikan hasil referendum itu kepada Dewan Keamanan PBB. Sabtu 4 September 1999 pukul 09.00 hasil referendum diumumkan oleh Ian Martin di Hotel Mahkota Dili, dan pengumuman di markas besar PBB di New York oleh Sekjen PBB, Kofi Annan. Hasilnya adalah 344.580 suara menolak otonomi/memilih merdeka (78,5 persen), 7.985 suara dinyatakan invalid dan 94.388 suara memilih otonomi (21,5 persen). Dengan demikian suara mayoritas menolak otonomi/memilih merdeka . Pro-kemerdekaan memenangkan pemilihan ini secara mutlak. Dengan itu secara otomatis Indonesia berserta armada pasukannya segera menarik diri dari bumi Timor-Timur. Rakyat memberikan keputusan definitif dalam referendum. Dengan kemenangan mutlak bagi pro-kemerdekaan, apa reaksi dari pro-integrasi? Segera setelah pemgumuman hasil referendum, pro-integrasi melancarkan protes dan menolak hasil referendum. PBB dalam hal ini UNAMET diduga tidak netral dalam menjalankan misinya.
Apapun keputusan rakyat, kedua pihak harus menerimanya secara dewasa. Rakyat bebas menentukan pilihan untuk membebaskan diri dari era militerisme dan kekerasan yang telah sekian lama mereka alami. Suara mayoritas rakyat paling kurang menggambarkan siapa itu Indonesia selama 24 tahun di Timor-Timur. Rakyat memutuskan untuk merdeka karena pendudukan Indonesia tidak menggambarkan citra demokrasi dan bertindak di luar rel pancasilais. Membunuh, memperkosa dan menghilangkan nyawa orang bukanlah tindakan pancasilais. Oleh karena itu suara mayoritas memberikan kesaksian kepada dunia secara demokratis untuk menyatakan bahwa rakyat benar-benar dijajah di daerahnya sendiri. Rakyat berani mengambil sikap secara tepat untuk bebas mengurus diri sendiri, bebas menapak nasib di kemudian hari tanpa ada rasa takut. 

3.1.6. Milisi Melancarkan Kekerasan
Bulan September adalah bulan pembumihangusan dan bulan kehancuran bagi Timor-Timur. Senjata yang selama ini beredar secara ilegal mulai digunakan, korban jiwa berjatuhan, asap hitam menyelimuti bumi Timor-Timur dan pemindahan paksa rakyat sipil terjadi hampir setiap hari. Nasib UNAMET pasca-referendum tidak menentu, sering mendapat tindakan kekerasan dari para milisi dengan alasan cara kerja mereka tidak fair dan cenderung memihak pada pihak pro-kemerdekaan. Itulah sebabnya markas mereka diserang dan beberapa staf UNAMET mengalami luka-luka.


3.2. SELAYANG PANDANG TENTANG MILISI AITARAK
3.2. 1. Pengertian
Secara etimologis kata aitarak berasal dari Bahasa Tetum yang berarti duri. Aitarak merupakan sebuah kelompok milisi yang dibentuk di Timor-Timur untuk mempertahankan integrasi. Mula-mula kelompok ini bergabung dalam BRTT (Barisan Rakyat Timor-Timur) untuk mempertahankan eksistensi Indonesia di Timor-Timur. Ketika persoalan Timor-Timur semakin mencuat di percaturan politik dunia, dan ada tanda-tanda penyelesaian ke arah definitif, kelompok milisi pun menjamur di seluruh Timor-Timur.  
Milisi Aitarak adalah satu kelompok milisi yang dibentuk oleh TNI. Dili merupakan sasaran dan wilayah operasi milisi Aitarak. Milisi ini merupakan satu kelompok yang sangat kejam dan tidak mengenal kompromi sebagaimana halnya TNI. Kota Dili yang sampai sekarang masih diliputi puing-puing kehancuran menjadi saksi cara kerja milisi Aitarak ini. Aitarak membangun pertahanan yang cukup kuat karena memiliki senjata otomatis dan menguasai tempat yang sentral, yakni kota Dili, ibu kota propinsi. Kelompok ini dihimpun dari berbagai kelompok milisi dan orang-orang terpercaya dari pihak Indonesia. Mereka ini biasanya dijuluki laskar Merah Putih dan pencinta integrasi. Maka tidak mengherankan bahwa kekerasan yang mereka lakukan tidak diperhitungkan sebagai pelanggaran HAM. Apapun yang mereka lakukan adalah tindakan patriotis, yakni mempertahankan Timor-Timur untuk tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. Itulah sebabnya milisi Aitarak membumihanguskan kota Dili dan sekitarnya pasca-referendum 1999.

3.2.2.Komandan Aitarak
Komandan milisi Aitarak adalah Eurico Guterres yang awalnya anggota Fretilin. Eurico pernah menjadi intelijen FALINTIL dan orang tuanya dibunuh oleh tentara Indonesia. Putera kelahiran Viqueque ini kemudian berbalik untuk setia kepada Indonesia. Dia dibina dalam satuan Kopassus dan pada tahun 1995 Eurico mendalami keterampilan wira usaha dan bela negara di STPDN Depdagri di Jatinagor, Bandung. Atas permintaan Walikota Dili, Drs. Mateus Maia, Eurico membantu pemerintah daerah untuk mengamankan Dili.  Selain sebagai komandan milisi Aitarak, Eurico juga mempunyai peran penting dalam kelompok besar pro-integrasi. Kemudian dia diangkat oleh pemerintah menjadi wakil panglima Pasukan Pejuang Integrasi (PPI).
Milisi Aitarak didukung kuat oleh pemerintah daerah dan pusat. Tokoh-tokoh penting yang menjadi motivator adalah Gubernur Timor-Timur, Bupati Dili dan segenap jajaran pemerintahan yang berada di Dili. Pemerintah pusat dan para petinggi militer Indonesia juga mengambil tempat cukup sentral dalam kelompok Aitarak. Hal ini terbukti dalam upacara pengukuhan milisi Aitarak di depan kantor Gubernur Timor-Timur di Dili.


3.2.3. Dukungan Pemerintah dan TNI
3.2.3.1. Finansial
Di dunia mana pun lahirnya sebuah kelompok tentu membutuhkan finansial.  Eksis dan tidaknya sebuah kelompok tergantung dari besar-kecilnya dana yang dimiliki. Kalau finansial adalah satu kebutuhan pokok dalam sebuah kelompok atau organisasi, maka patut dipertanyakan soal pendanaan kelompok milisi Aitarak di Timor-Timur. Apakah mereka berdiri tanpa uang atau ada kelompok tertentu yang menjadi pendonor utama atas kelangsungan kelompok ini? Berbicara soal milisi Aitarak, tentu tidak terlepas dari peran Indonesia. Aitarak dibentuk oleh Indonesia, dalam hal ini koalisi dan kerja sama antara pimpinan propinsi dan Jakarta. Jakarta tentu menjadi donator utama, sehingga pertanyaan dasar dalam sub-tema ini adalah siapa yang membiayai milisi Aitarak?
Berdasarkan data yang dihimpun dari para peneliti, lembaga HAM nasional maupun internasional dan para pengamat politik kepada Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi, diketahui bahwa kelompok milisi ini menerima gaji dua ratus ribu rupiah/bulan (200.000/bulan) dan kebutuhan sehari-hari lainnya.  Dukungan finansial ini yang memperkuat tuduhan bahwa pemerintah sengaja membentuk milisi untuk mempropagandakan situasi dan kekerasan berskala besar hingga pembumihangusan kota Dili. Milisi Aitarak ini digaji layaknya sebagai seorang militer, maka sulit membedakan antara milisi dan TNI. Tujuan dari perekrutan dan pembiayaan milisi adalah untuk “menghapus” pendukung pro-kemerdekaan.

The order came from the regional commander,[Maj.Gen.] Adam Damiri, to the East Timor commander [Col. Tono Suratman] and the Special Forces commander, [Lt. Col.] Yayat Sudrajat – liquidate all the CNRT, all the pro- independence people, parents, sons, daughters and grandchildren. Commander Sudrajat promised a payment of Rp. 200,000 [US$ 26.66] to anyone wanting to serve in the militia. 
Geoffrey Robinson,  menegaskan hal yang sama dalam laporannya ke PBB tentang dukungan finansial yang diperoleh milisi. Ia juga menambahkan bahwa pemerintah menjamin kehidupan harian para milisi, sehingga sangat tidak masuk akal kalau Indonesia menyangkal tidak terlibat dalam aksi para milisi, terutama milisi Aitarak. Menurut pengamatan dari berbagai pihak penegak HAM, milisi ini memang dibentuk khusus untuk mempertahankan opsi otonomi. Aitarak mendapat instruksi untuk melancarkan kampanye kekerasan di seluruh kota Dili agar rakyat bisa memilih otonomi. Tujuannya agar Indonesia tetap eksis di bumi Timor-Timur. Dukungan finansial dan material support  ini sebenarnya memperlihatkan bahwa pemerintah sengaja merekrut kelompok bersenjata ilegal untuk menjadi aktor kekerasan, sementara mereka memanipulasi kejahatan itu dengan skenario bentrokan antar kelompok atau perang saudara. Dengan itu para penjahat perang lolos dari pengadilan internasional.

3.2.3.2. Senjata
Milisi Aitarak dalam menjalankan tugasnya dilengkapi dengan senjata otomatis. Pertanyaan fundamental dalam pembahasan ini adalah dari mana mereka mendapatkan senjata otomatis itu? Milisi Aitarak bukanlah angkatan bersenjata resmi melainkan kelompok bersenjata ilegal yang sengaja dibentuk demi sebuah tujuan politik tertentu. Berdasarkan pengamatan publik dan penelitian dari berbagai pihak, kelompok milisi ini dipersenjatai oleh pemerintah untuk mendukung dan menegakkan integrasi. Geoffrey Robinson, pengamat politik dan HAM dari universitas California, Amerika Serikat melaporkan hasil penelitiannya kepada Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekosiliasi (CAVR). Ia mengatakan bahwa para petinggi telah merencanakan darah akan mengalir lebih banyak bila otonomi kalah dalam referendum. Karena itu para petinggi militer dan pimpinan pemerintah berusaha untuk membagikan sejata otomatis kepada milisi. 
Selain dari kesaksian publik terutama para korban, juga beberapa bukti dokumen dan telegram Indonesia memperkuat alasan bahwa Indonesia membagikan senjata kepada milisi untuk membunuh para pendukung pro-kemerdekaan. Satu pernyataan kepada media oleh Letnan Kolonel Supardi, kepala staf Korem mengatakan bahwa TNI menyediakan persenjataan dan kontrol atas penggunaannya juga diatur oleh TNI. Komisi HAM juga mendapatkan bukti bahwa Jenderal Wiranto mengetahui semua senjata yang beredar di tangan para milisi khususnya milisi Aitarak. Kadang-kadang senjata disediakan, tetapi itu bukan berarti mereka (milisi) membawa sejata kemanapun mereka pergi. Senjata-senjata tersebut disimpan di markas Koramil. 
Tujuan penggunaan senjata adalah untuk membunuh. Hal serupa juga disampaikan oleh Gubernur Timor-Timur pada waktu itu yakni Abilio Jose Osorio Soares kepada para perwira tinggi militer dan pemimpin prointegrasi dalam sebuah pertemuan di Dili menjelang hari referendum. Ia mengatakan bahwa pendukung kemerdekaan yang mencari perlindungan pada para pastor dan suster adalah komunis yang harus dibunuh. Oleh karena itu TNI harus menyediakan senjata yang cukup kepada para milisi. Kalau TNI tidak menyediakannya, Gubernur sendiri akan mengalokasikan dana untuk pengadaan senjata bagi para milisi. 
Berdasarkan data-data di atas, penulis bisa menarik kesimpulan bahwa pemerintah pusat maupun daerah sengaja membagikan senjata kepada para milisi untuk mengancarm dan membunuh para pendukung kemerdekaan. Harus diakui juga bahwa milisi Aitarak juga menggunakan senjata rakitan, tetapi pada umumnya mereka menggunakan senjata-senjata otomatis seperti yang digunakan oleh TNI dan Polisi.

3.2.3.3. Pelatihan
Milisi Aitarak merupakan satu kelompok milisi yang cukup diandalkan oleh pemerintah dan TNI. Milisi ini dilatih khusus oleh Kopassus (Komando Pasukan Khusus).  Hal ini dilihat dari latar belakang berdirinya kelompok ini. Sebelum berubah nama menjadi Aitarak, kelompok ini sebenarnya adalah Gadapaksi (Generasi Muda Penegak Integrasi) yang langsung di bawah pimpinan Letnan Kolonel Yayat Sudrajat dengan misi khusus untuk menghapus semua simpatisan pro-kemerdekaan.
Perlu diketahui pula bahwa pelatihan seperti ini bukan baru terjadi setelah kelompok Aitarak dibentuk tetapi sejak Gadapaksi didirikan mereka ini telah dibekali dengan latihan ala Kopassus. Komandan Aitarak Eurico Guterres sendiri adalah orang kepercayaan Kopassus dan TNI. Pada bulan November 1998, komandan Daerah Militer IX Udayana Mayor Jenderal Adam Rahmat Damiri berkunjung ke Timor-Timur dan bertemu dengan pemimpin pro-integrasi untuk bersatu mendukung TNI memerangi kelompok pro-kemerdekaan. Dalam kunjungan itu Damiri siap memberikan lima puluh juta rupiah (50 juta) bagi para milisi untuk memulai kerjanya. 
Dengan demikian, soal pelatihan kepada Aitarak perlu merujuk pada pelatihan Gadapaksi pada tahun-tahun sebelum kelompok ini berubah menjadi milisi Aitarak. Maksud utama dari pembinaan dan latihan militer ini adalah untuk melancarkan pembunuhan dan penculikan secara sistematis dan sedapat mungkin selalu berhasil dalam pembunuhan dan aksi-aksi kekerasan lainnya demi menjaga nama baik TNI sebagai penjaga keamanan. Maka, perlu ditarik kesimpulan bahwa TNI dan Kopassus terlibat dalam pelatihan milisi Aitarak dan diketahui oleh pemerintah daerah dan pusat.

3.2.4. Daerah Kekuasaan Milisi Aitarak
Daerah kekuasaan milisi Aitarak adalah Dili. Mengapa milisi Aitarak ini ditugaskan untuk menguasai kota Dili dan sekitarnya? Hemat penulis, milisi ini memiliki keahlian lebih dan terkenal dengan sikap tanpa konpromi. Mereka ini dilatih khusus oleh Kopassus untuk mematahkan semangat nasionalisme pendukung kemerdekaan yang pada umumnya berbasis di kota Dili. Meskipun demikian, daerah kekuasaan Aitarak dibagi dalam beberapa sektor yakni, sektor timur, barat dan tengah. Dengan pembagian wilayah dalam tiga sektor milisi Aitarak mampu menguasainya dalam operasi-operasi akbar.
Kota Dili adalah pusat dari segala sesuatu tentang Timor-Timur, maka tidak mengherankan milisi Aitarak yang berlatarbelakang Kopassus ditempatkan di Dili untuk melancarkan kekerasan sistematis hingga pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang yang diduga sebagai anti integrasi. Kota Dili juga menjadi pusat perhatian TNI dan Polisi Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan. Namun cukup memprihatinkan bahwa kota Dili dikuasai oleh kelompok milisi Aitarak. Dalam hal ini kinerja dan tanggung jawab Indonesia sebagai penjaga keamanan sangat dipertanyakan. Cukup bijaksanakah melakukan aksi pembiaran terhadap kekerasan berskala besar dan pelanggaran berat HAM?
Aksi milisi Aitarak melancarkan kekerasan dan pembumihangusan di kota Dili merupakan sebuah kegagalan Indonesia sekaligus pengingkaran terhadap perjanjian 5 Mei 1999 di New York. Gagal dan ingkar janji ini terbukti dalam sikap apatis dengan kekerasan yang dilakukan oleh milisi. TNI dan Polisi tidak mampu menghentikan kekerasan yang dilakukan oleh Eurico Guterres dan anak buahnya. Apakah Indonesia terlibat dalam kekerasan dan pelanggaran HAM? Pertanyaan ini akan dijawab dalam poin berikut tentang tujuan utama pembentukan milisi Aitarak. 

3.2.5. Tujuan Utama Pembentukan Milisi (Aitarak)
Apa tujuan utama pembentukan milisi Aitarak? Ketika masalah Timor-Timur hampir masuk dalam tahap penyelesaian, kelompok milisi bertumbuh di seluruh Timor-Timur. Mungkinkah ini sebagai strategi pertahanan yang dirancang oleh Indonesia untuk tetap menguasai Timor-Timur atau ingin menghancurkannya apabila kalah dalam percaturan politik tingkat tinggi? Tujuan pembentukan milisi berkaitan erat dengan pertanyaan dasar di atas. Sebelum penulis memberikan jawaban tentang pembentukan milisi Aitarak, penulis ingin memperkenalkan kelompok milisi di seluruh Timor-Timur, karena tujuan dari mereka (milisi) adalah sama dalam tugas. Di seluruh Timor-Timur terdapat tiga belas bahkan lebih kelompok milisi.
Satuan-satuan milisi dari tiga belas kabupaten itu adalah sebagai berikut: pertama, Tim Alfa, Lautem, pimpinan Joni Marques dan Jati Merah Putih, Lautem/Lospalos, pimpinan Edmundo da Conceicao Silva (Bupati Lospalos). Kedua, Tim Saka/Sera, Baucau, pimpinan Sersan Kepala (Kopasus) Joanico da Costa Belo. Ketiga, Makikit, Viqueque, pimpinan Martinho Fernandes. Keempat, ABLAI (Aku Berjuang Lestarikan Amanat Integrasi), Manufahi, pimpinan Nazario Cortereal. Kelima, AHI (Ami Hametin Integrasaun), Aileu, Pimpinan Horacio. Keenam, Mahidi (Mati Hidup Tetap Integrasi Dengan Indonesia), Ainaro, pimpinan Cancio de Carvalho. Ketujuh, Laksaur, Kovalima, pimpinan Olivio Mendonca Moruk. Kedelapan, Aitarak, Dili, pimpinan Eurico Guterres (wakil panglima seluruh milisi Timor-Timur). Kesembilan, Sakunar, Oecussi, pimpinan Simao Lopes. Kesepuluh, BMP (Besi Merah Putih), Liquica, pimpinan Manuel de Sousa. Kesebelas, Halilintar, Bobonaro/Maliana, pimpinan Joao Tavares (panglima tertinggi milisi Timor-Timur) dan Dadurus Merah Putih, Bobonaro, pimpinan Natalino Monteiro. Keduabelas, Darah Merah Integrasi, Ermera, pimpinan Lafaek Saburai. Ketigabelas, Mahadomi, Manatuto, pimpinan Vidal Doutel Sarmento
Satuan-satuan milisi ini memiliki tujuan yang sama yakni, mempertahankan integrasi sebagai bagian yang sah dari wilayah Republik Indonesia. Dengan itu para milisi berjuang dengan berbagai cara agar Indonesia tetap eksis sebagaimana yang diinginkan oleh Prabowo Subianto, Try Sutrisno dan LB Moedani. Oleh sebab itu mereka memfasilitasi gerakan-gerakan politik semi militer. Ketiga perwira ini sering disebut sebagai barisan perwira pro status quo dan sering dijuluki barisan para jenderal preman.  
Tanggal 17 April 1999 di halaman Kantor Gubernur diadakan pengukuhan dan pelatihan Milisi Pro-Otonomi (MPO) oleh Gubernur. Ketiga belas kelompok milisi yang disebutkan di atas turut hadir dalam apel akbar ini. Dalam sambutannya Eurico Guterres membakar emosi para milisi untuk melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap para pengkhianat integrasi, “mulai hari ini tanggal 17 April 1999, saya perintahkan semua milisi pro-integrasi untuk melakukan pembersihan terhadap pengkhianat integrasi, tangkap dan bunuh mereka. Saya Eurico Guterres akan bertanggungjawab”.  Setelah apel akbar ini para milisi secara terang-terangan melakukan kekerasan dan pembunuhan hingga pasca-referendum 30 Agustus 1999 dengan tujuan utama mempertahankan Timor-Timur sebagai bagian yang sah dari NKRI dan menentang kemerdekaan/penentuan nasib sendiri.

3.2.6. Hubungan Milisi Aitarak, TNI dan POLRI 
Melihat secara kritis dari masa pembentukan milisi Aitarak hingga pembumihangusan pasca-referendum 1999 maka, jelas bahwa hubungan milisi Aitarak, TNI dan POLRI cukup erat, karena Aitarak dibentuk langsung oleh para perwira tinggi militer dan dikukuhkan oleh Gubernur Abilio Jose Osorio Soares. Kalau ditanya hubungan soal pembantaian dan kekerasan maka jelas bahwa milisi Aitarak adalah perpanjangan tangan TNI dan pemerintah untuk menegakkan integrasi dan menentang kemerdekaan Timor-Timur. Hubungan antara TNI, Aitarak dan pemerintah tampak dalam seluruh dukungan, yakni, penggajian, pemenuhan kebutuhan harian dan pembagian senjata otomatis.
Berdasarkan data yang ada, pejabat sipil dan militer Indonesia mendanai milisi dan menyediakan sumber daya kepada para milisi. Menurut sumber ini sekitar US$5,2 juta disalurkan kepada kelompok-kelompok milisi melalui pemerintah sipil Indonesia.  Dengan demikian perlu dijelaskan bahwa hubungan ini terlihat secara sistematis dan terstruktur dari awal pembentukan, pendanaan, pemberian senjata hingga ke aksi-aksi teror dan pembunuhan.

3.3. TINDAK KEKERASAN MILISI AITARAK PASCA-REFERENDUM    1999 DI DILI
3.3.1. Aitarak Blokade Kota Dili
Setelah PBB mengumumkan hasil referendum tanggal 4 September 1999, dengan kemenangan mutlak bagi prokemerdekaan, langsung disambut dengan aksi protes oleh pihak pro-integrasi. Kekerasan demi kekerasan mulai dilancarkan oleh milisi Aitarak. Aitarak memblokade seluruh kota Dili terutama bandar udara, pelabuhan dan jalan-jalan utama dengan tujuan agar para pemimpin prokemerdekaan tidak keluar dari Timor-Timur.

3.3.1.1. Bandar Udara
Milisi Aitarak di bawah komandan Eurico Guterres memblokade bandar udara Comoro, Dili Barat, dengan maksud agar semua elite politik Timor-Timur tidak meninggalkan Timor-Timur dan boleh bertanggungjawab atas persoalan referendum. Maksud utama pemblokiran bandara ini bernilai baik kalau ditilik dari aspek tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Seorang pemimpin mesti bertanggungjawab atas nasib rakyat kecil. Namun dalam konteks masalah Timor-Timur, para milisi bermaksud lain karena dibonceng oleh penguasa yang militeristik dan haus darah. Siapapun yang menentang kemapanan mesti berani karena konsekuensinya adalah antara mati atau hidup. Sebelum pengumuman hasil referendum, ada beberapa dokumen yang menyebutkan tentang daftar nama-nama elite politik pro-kemerdekaan yang harus bunuh jika otonomi kalah dalam referendum. Salah satu dari dokumen itu adalah dokumen HR Garnadi yang berisi tentang pembersihan Timor-Timur kalau otonomi kalah. 
Penutupan bandara tidak dilakukan secara merata, melainkan hanya bagi orang-orang tertentu, yakni mereka yang masuk dalam daftar pencarian. Salah satu di antaranya adalah Leandro Isak (Koordinator CNRT Dili). Eurico mengatakan bahwa mereka harus bertanggungjawab atas kehidupan rakyat Timor-Timur.  Karena itu, bandara mesti ditutup supaya mereka ini tidak terbang meninggalkan rakyat. Benarkah Aitarak sungguh prihatin dengan nasib rakyat kecil? Tentu tidak. Pemblokiran bandara adalah sebuah cara untuk mempersempit ruang gerak kelompok pro-kemerdekaan. Dengan itu Aitarak menambah angka pembunuhan sesuai dengan target yang telah dirancang sebelum hasil referendum diumumkan.

3.3.1.2. Pelabuhan dan Jalan-Jalan Utama
Selain menutup bandara udara, Aitarak juga menutup pelabuhan yang jaraknya tidak jauh dari kantor Gubernur. Aitarak benar-benar memblokade seluruh akses keluar Timor-Timur. Biasanya pelabuhan laut adalah jalan alternatif yang digunakan oleh orang untuk menyelamatkan atau pun melarikan diri dari suatu konflik, maka masuk akal kalau Aitarak menutup pelabuhan untuk mencegah elit politik yang ingin keluar dari Timor-Timur. 
Sementara itu jalan-jalan utama dan seluruh sudut kota dikuasai oleh milisi Aitarak untuk mencari orang-orang yang tertera dalam dokumen rahasia yang sempat bocor ke tangan para wartawan. Mereka yang masuk target akan dihabisi dengan cara melakukan serangan mematikan di rumah masing-masing. Mereka yang namanya terdaftar ini rupanya telah mencari perlindungan ke markas UNAMET diantaranya Leandro Isak (sudah disebutkan dalam catatan kaki sebelumnya) dan David Diaz.  Milisi Aitarak menguasai seluruh kota Dili. Mereka melancarkan teror dan pembunuhan. Kota Dili benar-benar menjadi kota mati. TNI dan POLRI datang sebagai penonton dan sesekali sebagai penjahat yang bertopengkan Aitarak. Itulah sebabnya Indonesia cukup terpuruk di mata dunia internasional.

3.3.2. Penyerangan Terhadap Kediaman Uskup Dili
Eurico Guterres bersama anak buahnya melancarkan penyerangan terhadap kediaman uskup Dili. Perlu diketahui bahwa setelah pengumuman hasil referendum banyak rakyat yang mengungsi ke kediaman uskup Carlos F. X. Belo, SDB, berhubung milisi melancarkan serangan membabibuta di seluruh kota Dili. Rakyat dan kelompok pro-kemerdekaan mencari tempat perlindungan ke kediaman uskup Dili. Ternyata rumah uskup itu bukanlah tempat yang perlu ditakuti oleh para milisi binaan Jakarta. Justru sebaliknya mereka menyerang masuk dan memporak-porandakan tempat itu karena menurut milisi tempat itu adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang anti integrasi.
Masyarakat sipil yang mengungsi ke kediaman uskup Belo berjumlah sekitar 5000 orang, tanggal 6 September 1999, dua hari setelah PBB mengumumkan hasil referendum. Kekalahan pro-integrasi diekspresikan milisi lewat aksi teror dan pembunuhan. Menurut laporan, milisi Aitarak membunuh 25 orang dalam istana keuskupan. Rumah uskup dibakar dan diluluh-lantakkan. Sementara uskup Belo diselamatkan oleh seorang perwira TNI dan diterbangkan ke Baucau, selanjutnya sang gembala penerima Nobel Perdamaian ini terbang ke Darwin dan beberapa negara Eropa lainnya dengan nama samaran, Luis Rouchette dengan mengenakan rompi UN (United Nations).  Dalam penyerangan itu juga selain membunuh 25 orang warga sipil, sejumlah pemuda pro-kemerdekaan diculik oleh milisi dan TNI berpakaian Aitarak. Mereka itu adalah sebagai berikut:

Cassiano Morais do Rego, Hilario Boavida, Lourenço Boavida, Jorge Masquita da Costa Rêgo, Mário Assunçao da Costa Belo, Tomas da Costa Belo, Tiago Kofi, Alexandre Mesquita da Costa Rego, Virgilio Fernandes, Augusto da Costa, Marito Mesquita, José Martins de Sousa, Francisco Boavida, Eugenio da Costa dan Leonel da Silva de Oliveira. José Fernando [Nilton] da Costa juga salah satu yang dibawa ke luar Diocese dengan mobil Kijang bak terbuka. Dia berhasil kabur tetapi karena tusukan yang dialaminya, dia meninggal di Klinik Motael. 

Motif penyerangan itu adalah untuk membunuh semua kelompok pro-kemerdekaan yang mencari perlindungan di kediaman uskup. Namun ketika para milisi menyerbu masuk, banyak yang menyelamatkan diri dan sebagian bernasib malang. Sebuah catatan yang cukup serius bagi uskup Belo adalah meninggalkan umatnya ketika para milisi menyerang. Apakah tidak lebih baik mati sebagai martir bersama dengan umatnya yang kini dimangsa oleh serigala-serigala piaraan Jakarta? Seorang gembala harus tinggal bersama umatnya dengan segala konsekuensi yang terjadi. Sangatlah tidak mulia kalau menyelamatkan diri dengan nama samaran. Sebagai bahan perbandingan, ketika seorang wartawan Kompas bertanya kepada uskup Baucau, Mgr. Basilio do Nascimento, Pr, mengenai keselamatan dirinya yang makin terancam, ia hanya menjawab “untuk saya sendiri, akan sangat mudah meninggalkan Baucau. Tetapi, sebagai uskup, jika saya pergi, akan banyak orang mengikuti dan saya harus membawa mereka”. 
Ketika terjadi penyerangan, para pengungsi yang tanpa gembala itu berusaha menyelamatkan diri, namun sebagian bernasib sial. Sebagian melarikan diri ke gunung dengan bekal seadanya karena sang gembala hanya mampu menyelamatkan diri, sementara di kediamannya di Lecidere dibanjiri oleh darah, hidup tidak menentu dan ketidakpastian. Korban jiwa yang berjatuhan itu selain karena akibat kejamnya para milisi, tetapi di sisi lain terjadi kesalahan fatal dari uskup Belo. Mengapa? Karena semua warga Timor-Timur tahu bahwa uskup Belo adalah seorang pendamai dan bisa menetralkan situasi tetapi justru yang terjadi adalah sebaliknya. Uskup melarikan diri, masyarakat yang berlindung di rumahnya menjadi korban pembantaian.

3.3.3. Pembunuhan Terhadap Imam Misionaris Yesuit Di Taibesi
Malam yang sunyi, situasi kian mencekam. Terdengar rentetan sejata dari seluruh arah angin, nasib tidak menentu. Semua orang takut dan trauma karena penembakan yang membabi-buta. Di tengah kesunyian malam itu, milisi menerobos masuk dalam pastoran Yesuit di Taibesi. Malam itu komandan Aitarak menyusun strategi operasi, milisi Besi Merah Putih dari Liquica berkesempatan untuk mencari orang-orang yang ada dalam daftar. Alasan milisi Besi Merah Putih beroperasi di kota Dili karena selain Eurico sebagai komandan milisi Aitarak, dia juga menjabat sebagai wakil panglima PPI (Pasukan Pejuang Integrasi).  Karena itu semua kelompok milisi Timor-Timur harus taat kepadanya. Di pastoran Yesuit Taibesi, Dili Timur mereka membunuh seorang imam misionaris bernama Rm. Karl Albrecht Karim Abie, S.J.
Alasan di balik pembunuhan ini adalah soal keberpihakan. Selama Albrecht menjalankan misinya di Timor-Timur, dia sering membantu dan menyelamatkan kelompok pro-kemerdekaan dari pengejaran militer Indonesia. Karena itu dia juga masuk dalam target dan daftar pembunuhan. Sebelumnya komunitas Yesuit ini diduga menyembunyikan kelompok pro-kemerdekaan. Hal ini sesuai dengan amanat Gubernur Abilio Jose Osorio Soares yang mengatakan bahwa “para pendukung pro-kemerdekaan yang mencari perlindungan dengan pastor dan suster-suster adalah komunis yang harus dibunuh”.  
Berdasarkan kata-kata Gubernur, Rm. Albrecht yang harus menjadi tebusan. Imam berkebangsaan Jerman ini jatuh tersungkur persis di halaman tengah pastoran. Yang membunuhnya adalah milisi Besi Merah Putih atas perintah Eurico Guterres. Pembunuhan ini dilakukan karena para imam dalam karya pelayanannya selalu memihak pada kaum lemah dan tertindas, dalam hal ini kelompok pro-kemerdekaan yang selalu mencari tempat perlindungan pada Gereja. Pada akhirnya Rm. Albrecht sendiri menjadi korban militerisme Jakarta. Keberpihakannya pada orang kecil berakhir dengan sebuah kematian tetap pukul 21.15, tanggal 11 September 1999. 

3.3.4. Ancaman Pembunuhan Para Wartawan
Tugas seorang wartawan adalah mewartakan apa adanya, bukan apa yang seharusnya. Seorang wartawan menyampaikan kepada publik apa yang benar-benar terjadi di lapangan. Wartawan juga dilarang memprovokasi situasi dengan penggunaan bahasa-bahasa yang mempersulit keadaan. Oleh karena itu, kebebasan, otonomi dan kejujuran seorang wartawan sangat diperlukan di medan konflik. Selain itu mereka juga perlu memiliki komitmen yang tegas sehingga tidak mudah diboncengi oleh kepentingan suatu kelompok atau penguasa tertentu. Wartawan harus jujur menyampaikan kebenaran, yakni melaporkan sesuatu yang benar-benar ada dan dapat dibuktikan kebenarannya oleh siapa pun secara langsung di tempat kejadian. Itu berarti seorang wartawan harus menerapkan kode etik kewartawanan, cover both  sides yakni kesesuaian antara yang tertulis dan realitas.  Tugas wartawan adalah menulis apa yang benar-benar terjadi, tidak menambah, tidak mengurangi, keduanya harus seimbang.
Pasca-referendum 1999 di Timor-Timur, kebebasan dan netralitas kewartawanan sangat terpasung. Milisi Aitarak di kota Dili merasa tersinggung dengan berita-berita yang bermuatan kekerasan, terutama kekerasan dan kejahatan mereka sendiri. Karena itu, wartawan pun  masuk dalam daftar pembunuhan para milisi. Apakah  rencana pembunuhan diketahui oleh para perwira tinggi militer Indonesia? Instruksi pembunuhan wartawan datang dari Jakarta, dari Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.  Alasannya karena para wartawan lebih banyak membongkar kejahatan milisi dan TNI. Itulah sebabnya semua wartawan yang masuk dalam pencarian milisi diterbangkan ke negara asalnya, termasuk Rien Kuntari (wartawan harian Kompas). Mereka ini pun musuh utama para milisi karena sering dituduh sebagai wartawan pro-kemerdekaan.
Sander Robert Thoenes adalah wartawan Financial Times biro Jakarta. Dia dibunuh di Bekora, Dili Timur, pada tanggal 22 September 1999. Rupanya pembunuhan ini sedikit menguak isu keterlibatan TNI dalam kegiatan milisi. Kematian wartawan berkebangsaan Inggris ini masih belum pasti. Ada yang mengatakan dia dibunuh oleh TNI batalion infanteri 745 yang baru pulang dari Lospalos.  Tetapi yang jelas dia dibunuh di wilayah kekuasaan milisi Aitarak. Dengan peristiwa kematian ini, sekelompok wartawan yang masih bertahan di Dili,  dievakuasi karena mereka terus mendapat ancaman pembunuhan.
Ulasan tentang ancaman dan pembunuhan para wartawan di kota Dili hanya mau menegaskan bahwa keamanan yang dipercayakan oleh PBB kepada Indonesia dinyatakan gagal. Gagal karena kota Dili menjadi ladang pembantaian, pembumihangusan dan penjarahan harta benda oleh para milisi. Kegagalan ini nyata dalam aksi pembiaran terhadap pelanggaran HAM, kebebasan journalis terpasung dan hak hidup terancam setiap saat. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia tidak konsisten dengan kesepakatan bersama. Sesekali tampil sebagai penyelamat dan kadang-kadang juga tampil sebagai penjahat.
3.3.5. Pembunuhan Terhadap Masyarakat Sipil
  Di Timor-Timur pada masa pendudukan Indonesia pembunuhan terhadap masyarakat sipil sudah hal biasa. Masyarakat kecil selalu menjadi korban kekerasan. Pembunuhan terhadap masyarakt sipil kembali dilancarkan oleh milisi Aitarak dan para anggota pasukan keamanan Indonesia pasca-referendum 1999. Mereka menyerang masyarakat Sipil yang mencari perlindungan di kota Dili dan sekitarnya.

Pada tanggal 5-6 September 1999, milisi Aitarak, bersama-sama dengan     para anggota pasukan keamanan Indonesia, menyerang ratusan pengungsi yang mencari perlindungan ke tempat-tempat milik gereja, seperti kompleks kantor dioses, rumah Uskup Dili, biara-biara, dan kantor ICRC. Setidak-tidak 19 warga sipil dibunuh atau dibunuh. Sehari sebelumnya, yaitu pada 4 September, milisi menyerang kubu pro-kemerdekaan di Becora di Dili, membunuh sekurang-kurangnya tujuh orang. 


Pembunuhan terhadap masyarakat sipil pasca-referendum 1999 adalah sebuah kelanjutan dari metode lama. Namun warna pembunuhan masyarakat sipil 1999 sedikit berbeda. Perbedaannya adalah TNI tidak langsung beraksi disebabkan karena sudah mendapat intervensi langsung dari pihak PBB. Karena itu, TNI hanya beraksi di belakang layar. Sedangkan pembunuhan masyarakat sipil pra-referendum dilancarkan secara terang-terangan dan sadistis. Misalnya TNI dan pasukan pembantunya memerintahkan para korban untuk menggali lubang mereka sendiri sebelum mereka dibunuh. 
Pembunuhan masyarakat sipil pada pasca-referendum 1999 dilancarkan secara membabi-buta. Di seluruh kota Dili ada todongan senjata; terjadi pembantaian dan penculikan oleh orang-orang yang yang menamakan dirinya sebagai pencinta Merah Putih dan pahlawan sejati.  Penculikan dan pembunuhan bukan hanya terjadi di kota Dili tetapi meluas sampai di Timor Barat. Di Timor Barat para milisi mengintimidasi, menculik, dan menghabisi masyarakat yang sebenarnya tidak punya pilihan lain karena dievakuasi secara paksa. Sebagian dari mereka terpaksa ikut mengungsi karena demi keselamatan diri dan keluarga mereka. Itu pun, para milisi masih membuat pemeriksaan dan memghabisi mereka yang berlatarbelakang pro-kemerdekaan. 
Serangan pada bulan September adalah serangan yang benar-benar destruktif. Milisi Aitarak melancarkan serangan-serangan yang berskala besar terhadap masyarakat sipil yang mencari tempat perlindungan di lokasi pengungsian. Setelah dibantai, mayat-mayat mereka diangkut dengan kapal dan dibuang di tengah laut. Menurut laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi jumlah warga yang dibantai mencapai angka ribuan.

Militer Indonesia dan milisi diketahui telah membunuh antara 1200 hingga 1500 warga Timor-Leste pada tahun 1999, 900 orang diantaranya dibunuh setelah Konsultasi Rakyat. Masing-masing, mereka membunuh 400 orang lewat pembunuhan masal, dan sisanya dibunuh secara terpisah. Para korban tersebut tewas dengan cara yang mengenaskan, banyak yang ditebas dengan golok, dan di antara mereka yang sempat menyelamatkan diri, banyak yang kehilangan anggota tubuhnya dan menderita gangguan kesehatan yang berkepanjangan. Secara khusus, para pembunuh itu mengincar dan mengeksekusi para pemimpin CNRT dan keluarga mereka. 

  Angka di atas tidak termasuk penculikan dan penghilangan paksa/eksekusi mati di luar hukum. Rupanya sudah digenapi pernyataan Fransisco Lopes da Cruz bahwa “kalau rakyat memilih otonomi darah akan menetes. Kalau rakyat menolak otonomi darah akan membanjir di Timor-Timur”.  Pembunuhan masyarakat sipil pada periode pasca-referendum tidak diproses secara hukum. Alasannya adalah siapa mau menghukum siapa? Aktor utama pembunuhan adalah sang penguasa sendiri. Justru dengan keberhasilan membantai masyarakat sipil mereka dianggap sebagai pahlawan sejati. Karena itu, tidak perlu dikenakan sanksi hukum meskipun dalam kenyataannya mereka melakukan pelanggaran HAM berat.

3.3.6.  Pembakaran Gedung dan Rumah Masyarakat Sipil
Di kota Dili bukan hanya terjadi kekerasan, teror dan intimidasi tetapi lebih dari itu Dili dijadikan sebagai lautan api.  Bangunan rata dengan tanah, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran. Gedung-gedung pemerintah, bangunan-banguan milik swasta dan perumahan masyarakat sipil dibumihanguskan. Karena itu, tidak heran kalau orang menyebut kejadian pasca-referendum sebagai tragedi pembumihangusan. Mungkin orang bertanya siapa yang tega melakukan tindakan kriminal dan tak terpuji itu? Jawabannya jelas bahwa para algojo bayaran Jakarta. Namun perlu diselidiki secara kritis siapa yang menjadi promotor utama atas pembumihangusan ini.
Untuk menjawabi pertanyaan di atas, terlebih dahulu kita mesti mengenal apa dan siapa itu milisi Aitarak. Milisi Aitarak adalah sekelompok milisi yang sengaja dibentuk oleh Indonesia untuk tetap mempertahankan kesatuan dengan Republik Indonesia. Karena itu aktor utama pembumihangusan dialamatkan kepada Indonesia, dalam hal ini para petinggi militer TNI beserta jajarannya. Para milisi dan pendukung utamanya telah menghancurkan 70% infrastuktur utama, bangunan dan rumah-rumah masyarakat sipil. Selain pembumihangusan mereka juga menjarah harta benda rakyat.  
Pembumihangusan adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Tanpa memberikan keterangan dari aspek kuantitas pun fakta kejadian itu benar-benar terjadi. Kota Dili sampai sekarang masih dipenuhi puing-puing kehancuran. Setelah Timor-Timur berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat, program utama pemerintah adalah merehabilitasi bangunan. Aksi pembumihangusan merupakan luapan emosi atas ketidakdewasaan berpolitik pendukung pro-integrasi. Selain karena ketidakdewasaan, memang pembumihangusan adalah target para milisi yang mengklaim dirinya sebagai laskar Merah Putih. Dengan klaim demikian, mereka dapat menghancurkan segala sesuatu tanpa berpikir tentang arti sebuah penderitaan bagi masyarakat sipil. Kebengisan milisi dan para pendukungnya kini membawa trauma yang berkepanjangan bagi masyarakat Timor Leste, khususnya masyarakat di kota Dili dan sekitarnya. 

3.3.7. Teror dan Pemindahan Paksa Terhadap Masyarakat Sipil
Teror dan ancaman sudah terjadi sebelum pelaksanaan referendum. Pemindahan paksa masyarakat sipil baru terjadi ketika PBB mengumumkan kemenangan mutlak bagi pro-kemerdekaan. Apakah ada unsur politik dalam praktek pemindahan paksa ini? Jawabannya “ada”. Pemindahan paksa masyarakat sipil merupakan sebuah permainan politik para penguasa. Dengan adanya pemindahan paksa secara besar-besaran, Indonesia mau memperlihatkan kepada dunia bahwa ternyata masyarakat ingin tetap bergabung dengan negara Indonesia. Namun ketika menyelidiki mereka yang dievakuasi ke Timor Barat, ternyata mereka ini dipaksa dan diintimidasi oleh milisi dan TNI. Jumlah penduduk yang dievakuasi secara paksa adalah 250.000 jiwa,  seperempat dari jumlah penduduk Timor-Timur keseluruhan.
Penegasan kembali tentang politik pemindahan paksa. Tujuan utama pemindahan paksa masyarakat sipil adalah untuk memberi bobot pada kecerdikan politik penguasa bahwa kebanyakan orang Timor-Timur ingin tetap bergabung dengan Indonesia dan referendum yang diselenggarakan oleh PBB itu curang dan memihak pada pro-kemerdekaan.  Dengan kelicikan politik demikian, mereka memaksa masyarakat untuk mengungsi ke Indonesia dengan melancarkan teror dan intimidasi. Pernyataan ini diperjelas kembali oleh Mgr. Dominikus Saku, Pr dalam Menukik Lebih Dalam, “kedua bola mata itu menyiratkan ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, bahkan tatapan jiwa yang merana dan ketidaktentuan nasib baik mereka yang pro-kemerdekaan maupun yang pro-otonomi”.  Hal ini terjadi karena di kamp-kamp pengungsian milisi tetap melancarkan kekerasan dan penculikan bagi orang-orang pro-kemerdekaan yang terpaksa berpindah karena paksaan.
Dengan adanya pemindahan paksa, Indonesia sekali lagi terpuruk dalam percaturan politik yang tidak fair, selalu mengandalkan kekuatan militer dan menekan martabat masyarakat sipil dengan todongan senjata. Itulah sebabnya Indonesia dikecam oleh PBB bahwa mereka tidak memenuhi banyak janji, terutama perjanjian atas keselamatan masyarakat sipil. Di mata dunia, Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang lebih mengandalkan sistem militeristik dengan mengekang kebebasan masyarakat Timor-Timur hingga ke “titik nol”. 

3.3. PENGUASA YANG MILITERISTIK:  AKTOR UTAMA KEKERASAN 
3.3.1. Aksi Pembiaran Terhadap Kekerasan Milisi Aitarak
Berdasarkan kesepakatan 5 Mei 1999 di New York, Indonesia diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan dalam seluruh proses referendum. Namun kesepakatan ini tidak diindahkan oleh pihak Indonesia. Indonesia tidak mampu menghentikan tindakan kekerasan para milisi binaannya sendiri. Persoalannya bukan soal kemampuan untuk mengatasi kekerasan tetapi lebih pada aksi pembiaran kepada milisi sehingga Timor-Timur, khususnya kota Dili, dihancurkan secara sistematis dan korban jiwa berjatuhan. Pasukan Indonesia tidak menghentikan kejahatan melainkan terlibat dalam tindak kriminal. Karena itu, pada tanggal 6 September 1999 setelah penyerangan membabi-buta di seluruh kota Dili, Presiden B. J. Habibie, memerintahkan berlakunya keadaan darurat. Namun kejahatan tidak mampu dihentikan oleh TNI. Ada indikasi bahwa mereka sendiri terlibat di dalamnya.
Justru ketika darurat militer diberlakukan, kekerasan dan kejahatan semakin memuncak. Hal ini yang patut dipertanyakan secara kritis, apakah TNI tidak mampu menghentikan kejahatan milisi? Anggota militer Indonesia, polisi dan kelompok milisi dikenal sebagai pelaku dalam 14.922 (95,2%) pelanggaran.  Untuk menentukan tanggung jawab, Komisi HAM mengelompokkan bersama pelanggaran yang dilakukan oleh TNI, polisi Indonesia dan kelompok binaan Timor, termasuk milisi, karena banyaknya bukti bahwa TNI memainkan peran utama dalam menciptakan kelompok milisi, dan bertanggung jawab dalam mempersenjatai, membiayai, mengarahkan dan mengontrol mereka. 
Aksi pembiaran adalah tindakan yang disengajakan oleh TNI, karena memang tidak masuk akal bahwa kota Dili yang adalah pusat perhatian justru dihancurkan secara sistematis. Di sini tanggung jawab Indonesia sebagai penjaga keamanan sangat dipertanyakan. Indonesia bukan tampil sebagai pelindung tetapi dalam diri mereka terdapat topeng kriminal. Disebut kriminal karena membantu kegiatan milisi dalam penghancuran dan pembantaian masyarakat sipil Timor-Timur, terutama kota Dili. Oleh karena itu, Indonesia dituduh melakukan aksi pembiaran dan bersekongkol dengan milisi untuk menciptakan kekerasan sistematis pasca-referendum 1999.

3.3.2. Pembunuhan Terorganisir dan Skenario Perang Saudara
Indonesia melancarkan pembunuhan terorganisir dari awal pendudukan hingga 1999. Pembunuhan terorganisir yang dilancarkan oleh Indonesia dan paramiliternya adalah sebuah kelanjutan dari rancangan lama. Maksudnya pembunuhan terorganisir bukan baru terjadi pasca-referendum 1999 tetapi politik pembunuhan massal adalah sebuah kebiasaan politik militeristik Jakarta. Pembunuhan pasca-referendum 1999 diorganisir oleh TNI dan diboncengi oleh kepentingan politik para penguasa. Para penguasa selalu ingin tetap berkuasa, tidak ingin Timor-Timur menentukan nasibnya sendiri. Meskipun demikian keputusan rakyat harus dihargai, bahwa rakyat telah memilih untuk melepaskan diri dari kekejaman Jakarta yang militeristik dan haus darah. 
Sejak persoalan Timor-Timur mencuat ke permukaan internasional, para penguasa Indonesia telah membicarakan kemungkinan adanya “perang saudara”. Media Indonesia selalu menyiarkan bentrokan antar kelompok walaupun dalam kenyataannya milisi yang melancarkan kekerasan. Tembakan sporadis pada malam hari selalu diberitakan bahwa terjadi tembak-menembak. Tidak ada perang saudara tetapi yang ada adalah terapan politik fragmentatif. Artinya Indonesia merekrut kaum muda Timor-Timur untuk melawan saudaranya sendiri. Mereka yang masuk dalam kelompok milisi diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga mereka merasa benar-benar pejuang integrasi. Kelompok milisi dibimbing oleh aparatus negara dengan doktrin-doktrin kepahlawanan sehingga para milisi tergiur dengan ajaran itu dan melancarkan pembantaian kepada sesama saudaranya sendiri.
Skenario perang saudara merupakan sebuah strategi yang paling ampuh bagi Indonesia untuk melancarkan serangan-serangan yang mematikan. Menurut pandangan, mereka dengan skenario perang saudara, mereka tidak perlu takut dituduh melakukan pembantaian dan kehancuran, karena akan dibebankan kepada orang Timor-Timur sendiri, bahwa yang terjadi adalah perang saudara dan bentrokan antar kelompok. Karena itu Jakarta “cuci tangan” atas segala kejahatannya. Jakarta beserta para jajaran tinggi militernya tidak perlu takut terhadap hukum internasional, pelanggaran-pelanggaran berat HAM tidak perlu diproses secara hukum karena skenario perang saudara.  TNI melihat bahwa skenario perang saudara adalah cara untuk tetap mempertahankan Timor-Timur, kalaupun nantinya terpaksa angkat kaki dari bumi Timor-Timur, skenario perang saudara dapat membantu menghapus segala tindakan kejahatan. 
3.3.3. Kejahatan Jakarta Terbongkar Di Mata Dunia
Dengan melakukan aksi teror, pembunuhan dan pembumihangusan, dunia pun semakin mengecam Indonesia. Indonesia terlibat dalam seluruh rangkaian kekerasan. Keterlibatan Indonesia dalam tindakan kriminal dapat membongkar seluruh kebobrokan yang selama ini dibalut rapi dengan argumen-argumen penyangkalan diri. Dunia internasional menyaksikan langsung “kebohongan politik” Indonesia melalui penanganannya atas pelanggaran HAM dengan mengirimkan bantuan kemanusiaan ke seluruh pelosok Timor-Timur. Darurat militer yang diberlakukan pada tanggal 7 September 1999 bukan mengurangi kejahatan tetapi justru membuat kekerasan terus meningkat.

Kejahatan terhadap kemanusiaan terus terjadi setelah TNI mengambil alih kendali secara resmi. Berbagai serangan ini mengikuti pola pembunuhan yang sama oleh milisi yang melibatkan TNI, seringkali disaksikan langsung oleh personel senior TNI. Banyak pembunuhan memiliki pola yang sama: sejumlah pembunuhan itu terjadi setelah meningkatnya kekerasan, dengan sasaran para individu yang telah dipilih, dan mereka mempunyai kesamaan prosedur yang berlanjut dengan pembuangan mayat secara sistematis dengan menggunakan truk dimana semua bukti menunjukkan adanya dukungan oleh pihak militer. 

Disebabkan oleh makin meningkatnya kekerasan, Sekjen PBB Kofi Annan menekan Indonesia untuk menyetujui keterlibatan Pasukan Pemelihara Keamanan (International Peace Keeping Force) di Timor-Timur, karena terbukti Indonesia bukan penjaga keamanan yang baik. Indonesia telah melanggar perjanjian 5 Mei 1999 di New York.  Karena itu, Sekjen PBB meningkatkan tekanan pada Indonesia dengan mengumumkan bahwa tindakan lebih lanjut harus dipertimbangan jika keadaan tidak membaik di Timor-Timur dalam jangka waktu 48 jam.  Akibat adanya tekanan internasional yang semakin memuncak akhirnya Indonesia menyetujui kehadiran pasukan PBB untuk mengamankan situasi dan menyelamatkan masyarakat sipil yang hidup dalam kejahatan para algojo bayaran Jakarta. Akhirnya pasukan PBB mendarat di Dili tanggal 20 September 1999, di bawah komando Mayjen Peter Crosgrove asal Australia. Ketika pasukan PBB mendarat, TNI ditarik ke Indonesia.
Dengan hadirnya pasukan keamanan PBB, kebobrokan Indonesia semakin terbongkar. Waktu itu penjarahan harta milik dan pembumihangusan masih dilancarkan oleh pasukan milisi lantaran pasukan PBB belum menguasai medan Timor-Timur secara menyeluruh. Pasukan TNI yang masih tersisa di Timor-Timur, khususnya di kota Dili dibebastugaskan. Artinya mereka hanya menunggu saat penurunan bendera Merah Putih dari bumi Timor-Timur dan menanti gilirannya untuk dipulangkan ke Indonsia karena terbukti TNI melakukan aksi pelanggaran berat HAM. 
Dengan demikian kendali keamanan berada di bawah kendali pasukan PBB. Detik-detik terakhir eksistensi Indonesia di Timor-Timur hampir tiba.Propinsi Indonesia yang ke-27 itu akan segera membentuk pemerintahan sendiri dan berdiri sejajar denggan negara lain di dunia. Namun Indonesia masih dituntut untuk bertanggungjawab atas segala pelanggaran HAM. Apakah Indonesia benar-benar menghambat hak penentuan nasib sendiri masyarakat Timor-Timur? Sub-tema di bawah berusaha menjawabnya berdasarkan kebijakan politik Indonesia yang bernuansa militeristik.

3.3.4. Kekerasan Sistematis: Strategi Penghambat Self-Determination
Kekerasan sistematis yang dilancarkan oleh milisi dan TNI adalah upaya penghambatan hak penentuan nasib sendiri. Setelah pro-kemerdekaan menang mutlat dalam referendum terwujudlah impian kemerdekaan masyarakat Timor-Timur. Namun, impian yang menjadi kenyataan ini diboikot oleh para milisi dengan kekerasan yang sistematis. Mereka menuduh UNAMET bekerja tidak netral karena itu hasil referendum ditolak oleh pro-integrasi. Presiden Habibie menuding  UNAMET tidak menepati janji dan mengungkapkan hasil jajak pendapat tanpa berkonsultasi dengan dirinya atau pemerintah Indonesia.  Merasa kecewa dengan hasil referendum maka pihak pro-integrasi menuntut pembagian Timor-Timur menjadi dua bagian, yakni sektor Timur bagi pihak CNRT dan sektor Barat tetap menjadi wilayah Republik Indonesia. Pernyataan seperti ini tentu menghambat nurani masyarakat Timor-Timur. Membagi wilayah sama dengan tidak menghormati kebebasan rakyat. 
Pihak pro-integrasi menolak hasil referendum. Dengan itu mereka melancarkan kekerasan membabi-buta ke seluruh kota Dili. Pasukan pro-integrasi bersatu menentang PBB dengan melancarkan kekerasan ancaman pembunuhan terhadap mereka. Di mana-mana UNAMET tidak luput dari serangan para milisi. Tujuan utama kelompok pro-integrasi melancarkan kekerasan adalah membatalkan hasil referendum. Dengan itu penentuan nasib sendiri pun dibatalkan. Menurut mereka Timor-Timur harus tetap menjadi bagian dari Indonesia. Namun, menurut PBB keputusan masyarakat Timor-Timur mutlak sah. Memang kehancuran dan pembunuhan adalah ungkapan kekalahan politik pihak pro-integrasi. Tetapi, itu bukan berarti membatalkan hak penentuan nasib sendiri.
Ketidakdewasaan Indonesia dalam percaturan politik berdampak pada penghancuran dan pembantaian. Kota Dili diratakan dengan tanah, evakuasi paksa masyarakat sipil, penculikan, penganiayaan dan pembumihangusan  adalah upaya penghambatan penentuan nasib sendiri. Apabila tanpa keterlibatan pasukan keamanan PBB, maka akan sangat mungkin Timor-Timur menjadi kota mati. Dili bagaikan kota tak bertuan. Suara lengkingan tembakan dan kilatan api memenuhi langit. Dari balik bukit dan rumah-rumah yang terbakar, asap mengepul, membubung ke angkasa. Hanya beberapa jam setelah pengumuman hasil jajak pendapat, korban bergelimpangan.  Itu semua adalah cara untuk menggagalkan hak masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri. Rakyat ingin berpisah dengan Indonesia karena selama 24 tahun sudah mengenal baik apa dan siapa itu Indonesia.
Kekerasan demi kekerasan dilancarkan dengan bertubi-tubi hingga kota Dili hanya tertinggal puing-piung, namun rakyat Timor-Timur akan bangkit menentukan nasibnya sendiri. Merah Putih akan diturunkan, TNI akan dipulangkan ke Indonesia dan Timor-Timur akan benar-benar merdeka dari rezim militeristik Indonesia. Dengan demikian politik kekerasan periode pendudukan pun akan segera berakhir. Indonesia adalah tantangan yang terus melanda kebebasan rakyat Timor-Timur. Meskipun demikian kebangkitan rakyat Timor-Timur akan segera datang. Tinggal menghitung saat yang tepat untuk mengakhiri sejarah kelam bersama Indonesia.

3.4. MERAH PUTIH DITURUNKAN DARI BUMI TIMOR-TIMUR
Sebuah penantian yang panjang, selama 24 tahun dalam lubuk hati rakyat Timor-Timur yang berjiwa nasionalis bertanya dalam kalbu kapan Merah Putih diturunkan dari Timor-Timur? Itulah harapan dari mereka yang dibesarkan dalam rahim kekerasan. Ibu pertiwi telah lama membasuh diri dengan darah dan air mata lantaran kehilangan anak-anak kesayangannya. Mereka yang diculik tertinggal tulang-belulang, sementara banyak anak negeri ini tidak mengenal siapa gerangan ayah mereka karena ayah mereka terbunuh dalam memperebutkan harga diri dan kemerdekaan Timor-Timur. Sebagian lagi tidak mengenal siapa ayah mereka karena mereka adalah hasil dari kekerasan seksual periode pendudukan Indonesia. Kutipan di bawah ini adalah ungkapan seorang ibu yang dijadikan budak pemuas nafsu oleh oknum-oknum TNI. Menurutnya ini adalah sebuah sumbangan yang diberikan kepada Timor-Timur untuk menentukan nasibnya sendiri, karena itu pemerintah Timor-Timur harus bertanggungjawab atas nasib ketiga anaknya yang tanpa ayah itu. Meskipun Indonesia telah pergi namun meninggalkan situasi traumatis yang berkepanjangan bagi para korban, terutama korban kekerasan seksual.

Saya punya empat anak dari tentara Indonesia. Satu meninggal, tinggal tiga anak…Karena kita berperang untuk mendapatkan kemerdekaan, saya menerima [apa yang menimpa diri saya] dengan tangan terbuka. Mungkin dimasa depan, negara akan memberi perhatian kepada kami. Jika tidak, juga tidak apa-apa. Yang saya lakukan untuk mendukung perjuangan adalah menyerahkan diri saya kepada tentara Indonesia untuk menyelamatkan penduduk lain. Mungkin kalau tidak ada perang, saya bisa jadi perempuan yang baik. Tetapi tidak apa-apa, karena semua ini [kemerdekaan] kita semua orang Timor inginkan. Ini adalah konsekuensi perang…Saya minta bantuan…untuk menyekolahkan tiga anak saya, supaya masa depan mereka cerah seperti anak-anak lain. Karena perang saya diperlakukan seperti kuda oleh tentara Indonesia yang mengambil saya secara bergiliran dan membuat saya hamil beberapa kali. 

 Perlahan tetapi pasti, sedikit demi sedikit PBB mulai menggeser kedudukan Indonesia. Keberadaan Indonesia di Timor-Timur semakin tertepikan.  Detik-detik berakhirnya periode kekejaman hampir tiba. Untuk selamanya Merah Putih tidak akan pernah berkibar lagi. Tepat pada hari Sabtu, 30 Oktober 1999 bendera Merah Putih diturunkan dari bumi Timor-Timur dengan sunyi, tanpa ada liputan dari wartawan. Xanana pun tidak menghadiri upacara penurunan bendera itu karena alasan tidak ada pengawalan dari INTERFET (International Force for East Timor). 
Setelah upacara penurunan bendera Merah Putih, INTERFET mengawal dengan ketat para perwira TNI dan POLRI menuju pelabuhan dan Bandara Udara Comoro, Dili, untuk dipulangkan ke Indonesia karena wilayah Timor-Timur bukan lagi bagian dari wilayah Republik Indonesia. Sekitar pukul 13.30 Xanana tiba di Bandara Comoro dan mengucapkan “selamat jalan” kepada para petinggi militer dan sipil berserta anggotanya yang sedang menunggu penjemputan dari Jakarta.  Sebagian perwira TNI dan anggotanya baru diberangkatkan pada tanggal 31 Oktober 1999 dengan kapal KRI Teluk Banten. Timor-Timur benar-benar lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi (baca: Indonesia). 
3.5. TIMOR LESTE MERDEKA 20 MEI 2002
Timor Leste secara resmi menjadi sebuah negara pada tanggal 20 Mei 2002. Sistem pemerintah Timor-Timur adalah semi presidensial dengan nama RDTL (República Democrática de Timor Leste/Republik Demokratik Timor Leste). Presiden pertama Timor Leste adalah Alexandre Kay Rala Xanana Gusmão  dan Perdana Menterinya adalah Marí Bin Amude Alkatiri. Presiden dipilih langsung oleh rakyat sedangkan Perdana Mentri diangkat oleh partai pemenang dalam parlemen (Maiória Parlamentár). Karena itu Presiden berperan sebagai kepala negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Kemerdekaan 20 Mei 2002 menutup babak politik kekerasan dalam periode pendudukan Indonesia. Tugas baru yang diemban oleh Timor Leste adalah bekerja sama dengan lembaga PBB urusan HAM untuk menuntut Indonesia ke pengadilan internasional sehubungan dengan pelanggaran berat HAM pasca-referendum 1999. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia mengakui pelanggaran mereka ataukah Indonesia membasuh diri dengan skenario perang saudara dan bentrokan antar kelompok? Untuk mengantisipasi skenario penyangkalan diri ini, pemerintah Timor Leste dan PBB mendirikan sebuah komisi khusus yang disebut Unit Kejahatan Berat (Serious Crimes Unit/SCU). Komisi ini mendefinisikan “kejahatan berat” meliputi: pembasmian, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, pembunuhan, kekerasan seksual dan penyiksaan.  Kemudian komisi mengadukan tuntutan ke Mahkamah Internasional untuk meminta pertanggungjawaban Indonesia atas kekerasan dan pembunuhan yang terjadi pasca-referendum 1999. Berkas dan bukti yang diajukan ke pengadilan berdasarkan data penelitian lapangan dari CAVR (Commição Acolhimento Verdade e Reconciliação/Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang didirikan pada tanggal 13 Juni 2001.  
Namun ketika disepakati, Indonesia diberi tanggung jawab untuk mengadili orang-orangnya yang terlibat dalam pelanggaran HAM dalam hukum nasional. Pertanyaannya adalah siapa mau menghukum siapa? Pelanggaran HAM di Timor-Timur bertalian erat dengan keputusan politik Indonesia. Hukuman hanya dijatuhkan atas dua orang pro-integrasi yakni, Gubernur Timor-Timur Abilio Jose Osorio Soares dan komandan milisi Aitarak Eurico Guterres. Namun keduanya dibebaskan kembali oleh pengadilan Jakarta, karena minta naik banding dan dinyatakan tidak bersalah. Sekjen PBB kofi Annan mengungkapkan kekecewaan dengan hasil pengadilan ad Hoc Jakarta.  Alasan utama dari kekecewaan ini adalah soal ketidak-jujuran Indonesia dalam mengadili pelaku kekerasan 1999 di Timor-Timur.
Sehubungan dengan pengadilan Jakarta, Presiden Xanana Gusmao menyerukan rekonsiliasi dengan Indonesia. Kebijakan politik Xanana menimbulkan rasa kecewa dari semua korban karena menutupi kekejaman Indonesia dengan rekonsiliasi. Namun demikian Indonesia mendapat sorotan negatif dari dunia internasional karena tidak pernah jujur dan selalu mengingkar janji. Pengadilan Jakarta hanyalah pengadilan sandiwara. Dengan demikian tampak jelas bahwa kekerasan dan pembunuhan sistematis di Timor-Timur adalah bagian dari kekerasan representatif dan kekuasaan fragmentatif. Indonesia membela diri dengan skenario perang saudara dan lolos dari pengadilan HAM. Para aktor kekerasan kemudian dipromosikan oleh pemerintah Indonesia untuk menduduki jabatan penting dalam pemerintah karena dianggap berhasil menjalankan tugasnya di Timor-Timur. Para aktor kekerasan ini sebagian sudah ditugaskan ke Aceh dan Papua untuk melawan kelompok separatis yang ingin menentukan nasibnya sendiri.  
Meskipun Indonesia tetap tidak jujur dalam segala kebijakan politik dan proses peradilan, namun yang terpenting adalah cita-cita masyarakat Timor-Timur sudah terwujud. Kekejaman militerisme Jakarta telah berakhir. Untuk selamanya Merah Putih tidak akan pernah berkibar lagi di bumi Timor Leste. Politik kekerasan periode pendudukan Indonesia telah berakhir bersamaan dengan kekalahan Indonesia di panggung politik internasional.


BAB IV
MENILAI KEKERASAN MILISI AITARAK DALAM TERANG
PEMIKIRAN  JOHAN GALTUNG TENTANG POLITIK KEKERASAN


4.1. PENGANTAR
Kekuasaan adalah konsep Galtung tentang politik kekerasan. Menurut Galtung kekerasan hanya bisa terjadi kalau ada kekuasaan. Karena itu dalam ranah politik, kekerasan dipakai sebagai instrumen untuk mempertahankan posisi tertentu dalam sebuah sistem pemerintahan. Politik kekerasan merupakan sebuah kebijakan politik yang bermuatan kekerasan. Galtung menganalogikan kekuasaan sebagai orang yang memegang palu di tangan, dengan itu dunia tampak sebagai paku. Galtung mau mengatakan bahwa orang yang mempunyai power (kekuasaan) dapat memanipulasi segala sesuatu, termasuk kuasa untuk memperalat orang lain dengan menanamkan ideologi-ideologi yang membakar semangat. Misalnya dalam kasus Timor-Timur, Indonesia menanamkan ideologi nasionalisme kepada pendukung pro-integrasi sehingga para milisi berkobar-kobar mempertahankan integrasi tanpa melihat dampak penderitaan yang ditimbulkannya. Segala sesuatu yang mereka lakukan adalah untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Selain kekuasaan ideologis, ada juga kekuasaan punitif, di mana seorang penguasa menampilkan diri sedemikian jahat sehingga orang takluk kepadanya. Tipe kekuasaan ini tampak dalam diri negara-negara yang sering terlibat perang (belligerence) dan cenderung menggunakan perang (bellicist) sebagai solusi penyelesaian suatu masalah. Galtung mengangkat contoh, hampir 200 kali per tahun Amerika Serikat terlibat dalam perang.  Galtung menyebut kekuasaan ini sebagai “ekspedisi punitif” untuk beberapa diktator dunia (Reagan, Thatcher, Bush, Hitler, Stalin, dll). Orang-orang ini sering terlibat dalam kekerasan internasional. Kekuasaan punitif mengandalkan sikap kesetiaan dan ketakutan dari para bawahannya. Dengan adanya kekuasaan punitif, maka sebuah negara otoriter dapat mendominasi daerah lain/kelompok lain dengan cara memecah-belah kemudian menguasainya. 
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya bahwa sebuah kekerasan hanya bisa terjadi kalau ada kekuasaan. Kekuasaan ini berangkat dari dua prinsip dasar hakekat manusia yakni ada (being power) dan memiliki (having power). Misalnya seorang presiden memiliki kekuasaan karena posisinya dalam struktur tertinggi nasional. Having power menjadi dasar lahirnya sebuah kekerasan struktural, di mana para aktor kekerasan sruktural sering berada “di balik layar”. Orang tidak dapat mendeteksi sebuah kekerasan struktural karena sifatnya sistemik dan tersembunyi. Dampak kekerasan ini membawa penderitaan bagi banyak orang. Dalam bab ini yang disoroti adalah kekerasan-kekerasan yang bermuatan politik. Artinya kekerasan terjadi karena adanya kebijakan-kebijakan politik yang di dalamnya memuat kepentingan penguasa. Untuk mencapai kepentingan itu, penguasa menempuh jalan kekerasan. Kekerasan-kekerasan ini kadang bersifat struktural, representatif, dan langsung. 
Kekerasan milisi Aitarak pasca-referendum 1999 di Timor-Timur, khususnya di kota Dili menjadi sorotan dunia. Dunia mempertanyakan kejujuran dan kedewasaan para politisi dan penguasa Jakarta. Menurut banyak pengamat politik, kekerasan sistematis dan pembumihangusan adalah kebijakan politik Jakarta. Jakarta menggunakan militer untuk menghancurkan kota Dili sebelum meninggalkan kota tersebut. Karena itu kota Dili benar-benar menjadi kota mati, yang tersisa hanyalah puing-puing kehancuran. Sebelum Indonesia meninggalkan Timor-Timur, milisi dan TNI menyapu bersih kota Dili dan sekitarnya. Indonesia gagal menjaga keamanan sehingga kota Dili menjadi banjir darah. Oleh karena itu, dalam bab ini penulis mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan yang dikemukan dalam bab pendahuluan, “entahkah kekerasan yang dilakukan oleh milisi Aitarak bermuatan politik atau kekerasan murni? Kalau memang kekerasan murni di mana tanggung jawab Indonesia sebagai penjaga keamanan dalam perjanjian 5 Mei 1999 di New York?

4.2. KEKERASAN REPRESENTATIF
4.2.1. Kekerasan Milisi Aitarak: Buah Dari Militerisasi Jakarta
Milisi Aitarak adalah buah dari militerisasi Jakarta. Jakarta mempersenjatai masyarakat Timor-Timur khususnya yang pro-integrasi untuk memperkuat kekuatan militer dalam menegakan integrasi di Timor-Timur dan membasmi lawan politik (pro-kemerdekaan). Ketika pro-kemerdekaan memenangkan referendum secara mutlak pada tanggal 4 September 1999 milisi mulai melancarkan kekerasan dan pembunuhan sistematis sebagai ungkapan kekalahan politik. Hemat penulis, kalau tanpa ada dorongan dan instruksi dari pemerintah, para milisi tidak akan berani menghancurkan kota Dili. Para milisi ini tidak berpendidikan sehingga mereka dengan mudah diperalat dan diprovokasi kapan dan mana saja untuk melakukan kekerasan. Para milisi tampil sebagai kekuatan representatif, di mana wajah militeristik Jakarta hadir.
Jakarta mesti bertindak cukup waspada untuk menjaga nama baik di panggung politik internasioanal, karena sebelum referendum berlangsung PBB sudah memberikan mandat untuk menjaga stabilitas keamanan. Oleh karena itu, aktivitas milisi menjadi kekerasan representatif, di mana semua tindakan kriminal, Jakartalah yang menjadi aktor utamanya. Alasannya karena kehadiran milisi merupakan upaya untuk melakukan tindak kekerasan kepada pro-kemerdekaan apabila otonomi ditolak. Dikatakan kekerasan representatif karena semua kegiatan yang dilakukan oleh milisi selalu mendapat dukungan dari pemerintah daerah maupun pusat. Dukungan itu nyata dalam perekrutan, persenjataan, jaminan hidup harian hingga pada aksi penghancuran pasca-referendum 1999.
Milisi dalam melancarkan kekerasan, pembumihangusan selalu mendengar instruksi dari para perwira tinggi militer dan pemerintah. Hal ini tampak dalam cara kerja milisi yang begitu sistematis dan bertindak sesuai dengan aturan dan korider militer. Sisi lain dari kekerasan representatif ini juga adalah untuk menjaga privasi negara yang demokratis dan pancasilais agar dunia tidak mencapnya sebagai kriminal.

4.2.2. Milisi: Instrumen Militeristik Penguasa
Milisi disebut sebagai instrumen penguasa karena mereka ini diperalat untuk menyukseskan kebijakan politik penguasa dan elit politik. Para penguasa memiliki target-target yang mesti dilakukan oleh milisi. Misalnya, pasca-referendum 1999 ada banyak nama yang menjadi target pembunuhan karena dianggap melawan kemapanan NKRI, oleh karena itu harus dimusnahkan. Jakarta hanya memerintahkan pembunuhan, milisi menjalankan misi tersebut hingga menjadikan kota Dili benar-benar kota yang tak bertuan dan mati. Itulah sebabnya kita menyebut milisi sebagai instrumen penguasa Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya para milisi berjalan dalam bayang-bayang kekuasaan balas jasa (reward power) dan kekuasaan paksaan (coercive power). Disebut reward power karena Jakarta memberikan ganjaran materi dan jaminan hidup lainnya kepada milisi sebagaimana layaknya seperti seorang militer (TNI). Misalnya mereka digaji setiap bulan dan diberi jaminan hidup lainnya. disebut kekuasaan paksaan (coercive power) berarti bahwa apabila para milisi tidak menjalankan tugasnya maka mereka dianggap pengkhianat integrasi yang perlu dihukum dan Jakarta bisa mencabut semua ganjaran yang selama ini mereka terima.  Karena itu para milisi disebut sebagai alat Jakarta yang kapan dan di mana saja mereka dipakai, kadang-kadang juga dipermainkan. Artinya para milisi kapan saja diperintahkan untuk bertindak brutal atas nama Jakarta. Karena disebut representatif maka Jakarta selalu tersembunyi. Untuk mengetahui kinerja dan politiknya mesti dikaji dari awal pembentukan milisi hingga pada proses pengadilan pelanggaran HAM. Di sana kita menemukan bahwa para milisi hanyalah instrumen untuk menjalankan perintah. Milisi adalah representasi dari kebrutalan Jakarta. 
Sebelumnya para milisi dilatih oleh Kopassus dan TNI untuk tampil secara brutal dalam penyerangannya terhadap masyarakat sipil dan lawan politik. Para milisi yang berlatarbelakang tidak berpendidikan mudah dibodohi oleh penguasa untuk melancarkan kekerasan yang mematikan dan meninggalkan situasi traumatis yang berkepanjangan. Sebelum pasukan PBB mendarat di Dili, kita sulit membedakan mana yang milisi dan mana yang TNI karena semuanya memakai pakaian TNI. Hal ini yang menyebabkan kehancuran kota Dili dapat dikaitkan dengan brutalisme militer Jakarta. Karena itulah pandangan publik mengatakan bahwa TNI berperan aktif dalam aksi pelanggaran HAM di Timor-Timur. 
Akibat dari keterlibatan itu, Jakarta pun tidak luput dari sorotan publik, bahwa penguasa Jakarta bertanggungjawab mutlak atas kehancuran total Timor-Timur, khususnya kota Dili dan sekitarnya. Tuntutan pertanggungjawaban itu dilayangkan oleh pemerintah Timor-Timur dan PBB. Pertanyaannya adalah apakah Jakarta ingin jujur dengan tindakan anarkisnya di Timor-Timur? Para milisi hanyalah kelompok suruhan dan perpanjangan tangan Jakarta. Karena itu Jakarta perlu berpikir untuk jujur di hadapan peradilan publik. Kalaupun Jakarta tidak mengakui kebobrokannya di hadapan hukum, opini publik tetap memberikan kesaksian bahwa periode pasca-referendum 1999 adalah kebijakan politik kotor Jakarta. Jakarta mempersenjatai militer ilegal untuk membumihanguskan dan membantai rakyat tak bersalah. Itulah politik hitam Jakarta. Para penguasa menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan hak dan martabat manusia entah secara langsung atau tidak langsung. Itulah yang disebut oleh Galtung sebagai kekerasan.  
4.2.3. Jakarta Aktor Kekerasan: Luput Dari Pengadilan HAM 
Kalau dalam sub tema sebelumnya penulis membahas milisi sebagai instrumen, maka pada bagian ini, penulis memfokuskan diri pada aktor kekerasan. Hal ini dibuktikan dari kekerasan milisi sebagai manifestasi kejahatan penguasa. Kejahatan dalam hal ini nyata lewat pemberian dukungan dan tanggung jawab. Setelah menghancurkan secara sistematis dan menyeluruh, kemudian berpisah dengan Timor-Timur, kini yang tersisa hanyalah puing-piung kehancuran dan trauma yang berkepanjangan. Jakarta diklaim sebagai aktor utama kekerasan berdasarkan bukti-bukti yang dihimpun dari berbagai pihak yang peduli dengan kemanusiaan. Namun ketika Indonesia diberikan kesempatan untuk membawa orang-orangnya kepada mahkamah internasional, Jakarta tinggal diam, karena alasannya jelas bahwa “siapa mau menghakimi siapa”. Jajaran pemerintah semua berlumuran darah. Oleh karena itu Indonesia diberikan tanggung jawab untuk mengadili orang-orangnya dalam ranah hukum nasional. Itu pun Indonesia tetap tidak jujur dan membasuh tangannya yang berlumuran darah dengan argumen pembelaan diri, “tidak ada kekerasan di Timor-Timur”.
Jakarta sebagai aktor kekerasan, namun dalam prakteknnya menggunakan orang lain sebagai penyambung dan perealisasian kekerasan. Boleh juga disebut sebagai kekerasan yang mengatasnamakan orang lain. Kekerasan yang mengatasnamakan orang lain ini secara logis jelas bahwa ada orang lain yang menjadi motivator dan memerintahkan adanya kekerasan. Mengenai kekerasan representatif, Galtung mengatakan bahwa para bawahan/mereka yang dijadikan sebagai instrumen harus benar-benar melaksanakan apa yang disampaikan oleh penguasa, “membunuh atas nama negara adalah benar dan atas nama diri sendiri adalah salah”.  Kutipan ini sangat menampilkan kepatuhan dan kesetiaan dari seorang bawahan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh bawahan harus sesuai dengan arahan dan perintah penguasa. Dengan itu semua tindakan berjalan sesuai dengan keinginan penguasa. Bila menilik tindakan kekerasan milisi, maka benar bahwa penguasa Jakarta adalah pelaku kebobrokan, kehancuran dan penindasan atas martabat manusia di Timor-Timur. Hal ini nyata dalam instruksi dan komando yang diberikan oleh Jakarta untuk membantai pro-kemerdekaan, yang dianggap sebagai lawan politik dan penentang kemapanan. Tindakan kriminalitas seperti ini tentu sangat tidak pancasilais. 
Sejak bersatu dengan Indonesia anak-anak Timor-Timur dikandung dalam rahim kebencian, dendam terhadap TNI dan pemerintah Indonesia, karena itu cepat atau lambat Timor-Timur harus merdeka.  Tindakan anarkis dan kejahatan Indonesia menjadi faktor penyebab utama terjadinya referendum 1999. Kemudian kejahatan itu terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada kehancuran total pasca-referendum 1999. Dengan itu kekerasan-kekerasan pasca referendum 1999 adalah bagian kekerasan representatif, di mana para milisi hanyalah instrumen dari aktor utama kekerasan.
 4.3. KEKERASAN STRUKTURAL
Kekerasan struktural nyata dalam kekuasaan fragmentatif dan ideologis, di mana aktor kekerasan tidak menampilkan diri secara konkret. Galtung menamakan kekerasan struktural ini sebagai “orang yang melempar batu pertama”. Meskipun kekerasan struktural ini tersembunyi namun dalam praktek konkritnya dimanifestasikan oleh kekuasaan fragmentatif dan ideologis. Tindakan fragmentatif ini dikategorikan ke dalam kekerasan struktural karena penguasa menggunakan orang lain/kelompok sebagai alat untuk memecah-belahkan orang-orangnya sendiri (politik devide et impera). Dengan adanya strategi pemecah-belah kelompok pribumi dengan sendirinya kekuatan kelompok target menjadi lemah dan mudah ditaklukkan. Pendekatan ideologis juga bisa dilihat sebagai salah satu strategi untuk menaklukkan lawan-lawan politik. Menanamkan ideologi dan ajaran-ajaran yang bernuansa nasionalis menjadikan kelompok yang dipengaruh itu mudah terhanyut untuk melakukan segala sesuatu yang diperintah oleh penguasa. 
Mengapa Indonesia sering dicap sebagai militeristik? Karena dalam percaturan politik Indonesia, militer dipakai sebagai kekuatan politik.  Kalau militer dipakai sebagai kekuatan politik, maka dalam jajaran birokrasi nasional militer mempunyai peranan yang cukup penting. Hal ini nyata dalam kehadiran para perwira tinggi militer dalam kabinet pemerintah (salah satu contoh konkret, presiden RI Susilo B. Yudhoyono dalah seorang perwira tinggi miter; demokrasi dibalut dengan militerisme) . Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa kebijakan politik di Timor-Timur yang berakhir dengan pertumpahan darah dan pembumihangusan adalah salah satu kekuatan politik militerisme yang diwarisi dari rezim Soeharto.

4.3.1. Fragmentatif
4.3.1.1. Skenario Perang Saudara: Mematahkan Kekuatan Lawan Politik
Galtung mengatakan bahwa kekuasaan fragmentatif adalah sebuah tindakan, di mana penguasa menguasai kelompok lain dengan cara memecah-belah dan menguasai. Tujuan dari strategi fragmentatif ini adalah untuk melemahkan atau mematahkan kekuatan daerah periferi (wilayah/daerah bawahan) dengan politik adu-domba. Dengan adanya politik fragmentatif penguasa bisa mengklaim bahwa yang terjadi adalah perang saudara. Kekerasan seperti ini dinilai oleh Galtung sebagai bentuk imperialisme.  strategi seperti ini tampak dalam kekerasan yang dilancarkan oleh penguasa Jakarta atas Timor-Timur. Para aktor kekerasan menggunakan skenario perang saudara untuk menghilangkan jejak-jejak berdarahnya. Ketika dimintai pertanggungjawaban Jakarta membela diri dengan skenario perang saudara dan bentrokan antar kelompok pribumi. 
Skenario perang saudara adalah sebuah strategi lama. Ketika terjadi pembantaian masyarakat sipil dan penculikan sistematis, penguasa menyampaikan kepada publik bahwa tidak pernah ada pembantaian; yang ada adalah perang saudara. Media massa pun direduksi dalam kekuasaan militer sehingga kebebasan media terpasung dalam ranah penguasa militerisme dan akhirnya media tidak benar-benar otonom dan independen. Karena itu dalam kekerasan selama periode pasca-referendum Jakarta “cuci tangan” dan kekerasan itu dilimpahkan kepada para milisi yang sebenarnya hanya anggota bawahan, tidak berpendidikan dan mudah diperalat. Jakarta luput dari pelanggaran HAM berat di Timor-Timur. Skenario perang saudara sebenarnya sudah dibongkar oleh kekerasan pasca-referendum 1999, bahwa selama ini tidak ada perang saudara. Yang ada hanya politik fragmentatif, di mana Jakarta merekrut sekian banyak tentara ilegal (milisi) untuk mempertahankan eksistensi RI di Timor-Timur. Kebobrokan ini terbongkar ketika PBB sendiri menyaksikan kekerasan secara langsung di lapangan. Indonesia terbukti menjadi aktor utama atas segala kehancuran dan penindasan martabat rakyat Timor-Timur.
Berbicara tentang kekerasan pasca-referendum 1999, tentu tidak terlepas dari peran TNI. Politik Jakarta selalu melibatkan TNI untuk meraih sebuah tujuan politik. TNI adalah kekuatan politik penguasa Jakarta. Mengapa? Karena semua kebijakan politik pemerintah selalu melibatkan kehadiran TNI. TNI dijadikan sebagai ancaman bagi lawan politik. Namun Jakarta sedikit berhati-hati karena ketika referendum hendak berlangsung keamanan diberikan kepada Indonesia. Tentu Jakarta tidak ingin merusak citra dan nama baik di panggung Internasional. Karena itu, politik fragmentatif yang mereka praktekkan. Milisi digerakkan untuk menghancurkan segala sesuatu. TNI dan pemerintah melihat adegan penghancuran ini sebagai sebuah keberhasilan. Dikatakan berhasil karena menggunakan orang Timor-Timur sendiri untuk menghancurkan daerahnya. Ini adalah sebuah “keberhasilan”. Namun perlu diteliti lebih jauh bahwa apakah politik fragmentatif ini cukup menguntungkan Jakarta ataukah dengan adanya politik adu-domba kejahatan justru terbongkar? Timor-Timur bagaikan ikan dalam aquarium yang begitu transparan di mata dunia internasional. Dunia menilai kejahatan Jakarta sebagai sebuah kejahatan melawan kemanusiaan. Oleh karena itu kebijakan politik Jakarta mesti diperhatikan berhubungan dengan kejujurannya untuk menyerahkan mereka yang terlibat dalam kejahatan berat itu ke mahkamah internasional untuk diadili.
  Pembahasan tentang skenario perang saudara sebenarnya mau mengkaji lebih dalam keterlibatan Jakarta dalam kekerasan yang terjadi di Timor-Timur pasca-referendum 1999. Tidak bermaksud untuk membongkar kembali pendudukan Indonesia di Timor-Timur sebagai sebuah operasi politik untuk membasmi isu komunis, kekerasan pasca-referendum 1999 juga sebuah cara untuk tetap mempertahankan status quo dengan cara mengadu-domba masyarakat lokal. Misalnya, Jakarta merekrut para pemuda pribumi masuk dalam kelompok milisi untuk menghancurkan kelompok pro-kemerdekaan. Itu yang disebut sebagai politik fragmentatif. Meskipun para aktor membela diri dengan skenario perang saudara dan bentrokan antar kelompok, namun publik sudah memberikan kesaksian bahwa Jakarta adalah aktor kehancuran total Timor-Timur, dibantu oleh para militer ilegal dan TNI. Ini adalah sebuah kebijakan politik yang bermuatan kekerasan. Tujuannya adalah menaklukkan lawan politik dengan perlawanan agresif, penahanan, pengusiran, marginalisasi dan fragmentasi itu sendiri. 

4.3.1.2. Pemindahan Paksa Masyarakat: Manipulasi Politik
Pemindahani paksa masyarakat sipil ke Indonesia adalah sebuah manipulasi politik. Dikatakan manipulasi karena di dalamnya ada muatan politik, di mana Indonesia mau menunjukkan kepada publik bahwa ternyata masyarakat ingin tetap bergabung dengan Indonesia. Padahal kalau diselidiki lebih jauh, para pengungsi benar-benar tidak mempunyai pilihan selain mengikuti arus. Sebanyak 250.000 masyarakat dipaksa untuk meninggalkan tanah tumpah darahnya dan harus mengungsi karena teror dan intimidasi dari para milisi pro-Jakarta.
Pemindahan paksa masyarakat sipil dari tempat asalnya disebut oleh Galtung sebagai alienasi, di mana orang dialienasi baik dari segi kultur dan tempat asalnya. Alienasi dan pemindahan paksa hanya bisa terjadi kalau ada kekuasaan. Dalam kasus Timor-Timur pasca-referendum 1999 pemindahan paksa terjadi karena penguasa ingin memanipulasi hasil referendum. Indonesia ingin menunjukkan kepada publik bahwa ternyata rakyat Timor-Timur memilih integrasi. Mayoritas masyarakat yang mengungsi ke Indonesia khususnya Timor Barat merupakan hasil intimidasi dan ancaman pembunuhan. Mereka harus mengungsi bukan karena mau memilih integrasi. Berikut ini adalah laporan dari CAVR dalam Chega.

kelompok-kelompok milisi bersenjata terus merajalela di Dili, menyerang penduduk sipil yang tidak bersenjata dan membawa mereka dari tempat-tempat pengungsian ke tempat pengumpulan pengungsi, di mana mereka kemudian dimasukkan ke truk-truk atau kapal dan dideportasi ke Timor Barat. Pos-pos pemeriksaan milisi didirikan di seluruh kota dan di sepanjang jalan keluar Dili agar penduduk tidak dapat pergi kemana-mana selain Timor Barat. Dili menjadi kota mati karena sebagian besar penghuninya telah dideportasi ke Timor Barat atau lari ke bukit-bukit terdekat. Hanya segelintir orang yang menetap di kota, bersembunyi di antara reruntuhan yang terbakar. 

Kutipan di atas hanya mau membuktikan bahwa pemindahan paksa masyarakat sipil ke Indonesia merupakan sebuah paksaan dan teror. Pemindahan paksa ini terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Penyalahgunaan kekuasaan ini terlihat dalam kebijakan pemerintah dalam memberikan senjata kepada kelompok non-militer untuk menindas dan mengintimidasi sesamanya sendiri. Ini yang kita sebut sebagai politik fragmentatif. 


4.3.1.3. Aktor Utama Kekerasan Di Balik Layar
Dalam kekerasan struktural aktor utama kekerasan menyatu dengan struktur dan sistem sehingga pelaku utama sebuah kekerasan sulit dibaca dan diidentifikasi. Oleh karena itu bila terjadi suatu kekerasan dan ketidakadilan, orang mengalamatkannya kepada struktur sebagai aktornya. Perlu ditegaskan bahwa kekerasan struktural bukan tidak ada pelaku sama sekali. Subyek pelaku kekerasan itu ada namun sering bersembunyi di balik layar. Meskipun demikian, dampak kekerasan yang dihasilkan olehnya dapat membawa penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat bawah. Misalnya terjadi kekerasan massal, perang, pembantaian etnis, penghancuran fasilitas umum dan korupsi adalah contoh kekerasan struktural yang mengakibatkan orang lain tidak mampu merealisasikan potensi-potensi dalam dirinya. 
Selama bergabung dengan Indonesia militer mempunyai peranan yang cukup sentral di Timor-Timur. Militer kadang-kadang tampil sebagai seorang politisi dan kadang-kadang juga tampil sebagai “penjaga keamanan”. Kekuasaan pemerintah lebih banyak dilimpahkan kepada para perwira militer sehingga kekerasan pun terjadi tak kunjung henti. Hal ini disebabkan oleh pandangan lama penguasa yang masih cukup kental tentang eksistensi Timor-Timur sebagai teritori komunis. Karena itu penguasa mesti bertindak secara militeristik untuk membasmi semua warga Timor-Timur yang diduga sebagai pro-kemerdekaan. Pro-kemerdekaan di mata Indonesia adalah komunis yang harus dihapus. Dengan adanya tujuan pembasmian itu, pertama-tama penguasa harus memerintah dengan tangan besi dan bersikap otoriter. Penguasa pun mesti mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kehendaknya dan berusaha sedapat mungkin agar tidak ada pihak lain yang menentang ataupun menetralisirnya.  Segala sesuatu yang diperintahkan harus diikuti oleh bawahan. Demikian pun kalau ada lawan politik penguasa akan benar-benar menggunakan kekuasaannya untuk mematahkan lawan-lawan tersebut.
Melihat kembali konteks kekerasan Timor-Timur pasca-referendum 1999, tentu kekerasan struktural dan politik fragmentatif cukup mendominasi percaturan politik penguasa. Berbicara soal kekerasan yang terjadi di Timor-Timur khususnya di kota Dili, aktor utamanya adalah Indonesia. Kebijakan politik Indonesia memuat kekerasan yang membawa penderitaan bagi masyarakat sipil. Mengapa aktor kekerasan dialamatkan kepada pihak Indonesia? Alasannya jelas bahwa milisi dan TNI di bawah kontrol Jakarta. Jakarta menjadi otak segala kejahatan. Meskipun Jakarta “bernyanyi”di panggung publik untuk menghilangkan jejak kejahatannya tetapi sejarah hitam di Timor-Timur adalah karya militerisme Jakarta. Mereka boleh bersembunyi di balik layar tetapi fakta menunjukkan bahwa Indonesia telah menghancurkan Timor-Timur dengan kekuatan militer dan para milisi ilegal.
Galtung menyebut aktor utama kekerasan sebagai “orang yang melempar batu pertama” (tetapi soal kekerasan pasca-referendum orang yang melempar batu pertama sembunyi tangan: dari penulis). Di tengah kehancuran total, kadang-kadang Jakarta menyangkal diri, namun akan sangat tidak masuk akal kalau para milisi yang adalah orang pribumi menghancurkan daerahnya sendiri. Keterlibatan Jakarta dalam aksi destruktif pasca-referendum sudah diulas panjang-lebar pada bab sebelumnya. Penguasa menggunakan kekuatan militer dan politik adu-domba dalam penghancuran dan pembantaian kelompok pro-kemerdekaan. Dengan demikian kebijakan politik Jakarta identik dengan kekerasan itu sendiri.

4.3.2. Ideologis
4.3.2.1. Instruksi Mempertahankan NKRI
Kekerasan ideologis adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk menundukkan lawan. Kekerasan ini nyata dalam penanaman ajaran dan doktrin-doktrin yang membakar semangat dan mempengaruhi orang sedemikian sehingga orang tersebut terhanyut untuk melakukan apa saja demi mempertahankan sebuah ideologi. Negara dengan kekuasaannya menanamkan ideologi kepada para kelompok tertentu untuk mendestruksi dan menindas hak orang lain demi tercapainya sebuah tujuan. Kekuatan ideologis perlu juga diimbangi dengan kekuatan militer. Militer berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menjaga ideologi yang ditanamkan tadi. Karena itu Galtung melihat negara sebagai “pengganti” Tuhan yakni hak untuk menghancurkan kehidupan (eksekusi). Negara juga dilihat sebagai pemilik hak untuk mengontrol kehidupan.  Oleh karena negara memiliki hak untuk mengontrol maka negara juga mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi orang lain dengan ideologi-ideologi sehingga eksistensi sebuah negara tetap kuat tanpa ada kekuatan tandingan. Apabila ada kekuatan lain yang berdiri untuk menentangnya, maka kelompok tersebut dianggap musuh dan harus dihapus. Galtung menyebut tindakan ini sebagai pembunuhan atas nama negara. Alasannya adalah karena pembunuhan dan kekerasan ini diperintahkan oleh negara. 
Kekerasan ideologis nyata dalam doktrin Jakarta kepada para milisi dan TNI untuk mempertahankan NKRI. Usaha dalam mempertahankan negara menjadi faktor bagi lahirnya kekerasan. Aksi brutal para milisi tentu dilatarbelakangi oleh adanya kekuatan ideologis yang ditanamkan Jakarta sehingga para milisi merasa benar-benar memiliki republik ini dan melancarkan penghancuran total. Menurut  penulis, kekerasan dan pembumihangusan tidak akan terjadi kalau mereka (milisi) tidak dipengaruhi oleh doktrin-doktrin yang membakar semangat. Kekuatan ideologis membuat para milisi sungguh-sungguh berjuang untuk tetap mempertahankan integrasi dengan Indonesia. Sebelum terjadi referendum Jakarta telah memberikan instruksi kepada para milisi untuk menjadi pahlawan negara. Namun kalau diselidiki, para milisi diperalat dengan ideologi-ideologi yang bersifat destruktif untuk menjadikan Timor-Timur menjadi lautan api dan banjir darah sebelum Indonesia angkat kaki dari Timor-Timur.
Tindakan kekerasan para milisi benar-benar menggambarkan sikap brutalisme karena kekecewaan atas realitas bahwa mereka tidak akan pernah memiliki lagi Timor-Timur. Karena itu, demi mempertahankan keutuhan bangsa yang pada akhirnya gagal, kekerasan dan pembumihangusan adalah jalan terakhir. Kekerasan milisi dikatakan kekerasan ideologis karena fungsi milisi hanya menjalankan perintah dari pemegang kekuasaan. Mereka menjalankan apa yang dikomandokan oleh Jakarta. Oleh karena itu penghancuran total pasca-referendum 1999 adalah dampak dari kekuatan ideologis Jakarta. Jakarta memerintahkan para milisi untuk tetap mempertahankan keutuhan bangsa, namun karena gagal target terakhir adalah menjadikan Timor-Timur, khususnya kota Dili menjadi benar-benar kota mati, bahkan tidak bertuan. Kota Dili menjadi lahan pembantaian lawan politik dan masyarakat sipil, dijarah habis, gedung-gedung yang dibangun oleh Indonesia diratakan kembali dengan tanah, yang tersisa hanyalah puing-piung kenangan. Indonesia benar-benar mengambil kembali apa yang mereka berikan, karena untuk selamanya Indonesia tidak akan lagi memiliki Timor-Timur.  Milisi sendiri sebenarnya berada dalam bayang-bayang ideologi militerisme Jakarta.

 4.3.2.2. Tidak Ada Negara Timor Leste: NKRI Harga Mati
“Jangan mimpi ada negara Timor Leste, tidak ada negara Timor Leste yang ada hanya bangsa Indonesia”.  Ungkapan ini lahir dari rezim Soeharto, yang kemudian diwariskan kepada para jajaran pemerintahan dan militer. Ungkapan ini merupakan sebuah ajaran kepada rakyat Timor-Timur bahwa tidak akan pernah ada negara Timor Leste. Kalaupun ada yang berusaha untuk memberontak ingin berpisah dengan Indonesia, militer akan bertindak sedemikian rupa sehingga usaha untuk memcapai kemerdekaan itu akan gagal dan tidak akan pernah terjadi, karena di mata Indonesia para pendukung kemerdekaan dianggap GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).  Para milisi telah dibekali dengan ajaran ideologis yang mengatakan bahwa “tidak ada negara Timor Leste”. Hal ini tentu membangkitkan semangat nasionalisme untuk berdiri tegar dengan segala konsekuensinya dalam mempertahankan keutuhan NKRI. Secara psikologis, ideologi semacam ini tentu mempengaruhi para milisi untuk benar-benar memperjuangkan keutuhan bangsa. 
Di sini penulis mau menekankan bahwa sebuah kekerasan terjadi hanya kalau ada aktor utama yang menjadi penggerak baik dari segi dukungan material maupun kemampuan retoris berupa ajaran-ajaran ideologis kepada bawahannya untuk melakukan segala sesuatu. Karena itu dalam kaitan dengan kekerasan di Timor-Timur aktor utamanya adalah penguasa itu sendiri. Penguasa bukan hanya memberikan dukungan senjata, keuangan dan jaminan hidup lainnya, tetapi juga menanamkan satu ideologi yang sungguh membakar yakni, “tidak ada negara Timor Leste, yang ada hanya bangsa Indonesia”.  
Usaha untuk membatalkan atau menghalangi penentuan nasib sendiri tentu memicu kekerasan sistematis untuk melumpuhkan semangat para pendukung kemerdekaan. Para milisi mampu menghancurkan segala sesuatu karena dikuatkan oleh ideologi dan didukung oleh persenjataan yang lengkap dari pemerintah. Kekerasan pasca-referendum 1999 adalah sebuah kekerasan di mana Jakarta tampil dalam diri para milisi dan kekuatan-kekuatan bersenjata lainnya untuk menganulir hak penentuan nasib sendiri masyarakat Timor-Timur. Mengapa demikian? Alasannya adalah para milisi melakukan tindakan kekerasan berdasarkan perintah dan ideologi Jakarta. Dalam hal ini Jakarta masih tampil sebagai penjahat yang berada di balik layar namun ideologi-ideologinya sangat mengispirasi para milisi dan TNI untuk membumihanguskan Timor-Timur sebelum berpisah. Dengan demikian kekuatan ideologi penguasa adalah salah satu motor lahirnya kekerasan.
4.4. KEKERASAN LANGSUNG
Kekerasan langsung berarti pelaku konkret kekerasan tampak jelas dan tanpa ada mediasi. Langsung karena dampak dari kekerasan tersebut langsung/secara langsung tertuju pada korban. Kalau dalam kekerasan struktual aktor utamanya tersembunyi di balik layar, maka dalam kekerasan langsung pelaku secara terang-terangan melakukan tindakan kekerasan. Kekerasan langsung ini dapat dikategorikan ke dalam dua bagian yakni kekerasan yang bersifat punitif dan propaganda, teror dan intimidasi. Keduanya mau menjelaskan kekerasan-kekerasan langsung yang menyentuh realitas hidup manusia.
Pada bagian ini penulis ingin mengkaji lebih dalam tentang keterlibatan langsung TNI dalam tindakan brutal milisi pro-integrasi. Di Timor-Timur militer selalu identik dengan kekerasan karena di mana-mana mereka menjadi biang kekerasan dan selalu tampil agresif dalam menjalankan perintah Jakarta. Orang-orang pribumi teralienasi dan merasa terjajah di tanah kelahirannya sendiri. Agresivitas militer mencapai titik kulminasinya pada kehancuran total pasca-referendum 1999, di mana mereka melancarkan serangan-serangan yang mematikan terhadap kelompok pro-kemerdekaan yang telah lama merindukan penentuan nasib sendiri. TNI yang ditugaskan sebagai penjaga keamanan justru menjadi penghancur dan tampil sebagai satuan kriminal.
Semua ini terjadi karena mereka di bawah komando Jakarta untuk menghalangi penentuan nasib sendiri. Kalaupun Timor-Timur berhasil menentukan nasib sendiri, paling kurang harus merangkak dari titik nol. Semuanya hancur. Sebelum pasukan penjaga keamanan PBB tiba, Timor-Timur sudah menjadi lautan api. Orang sulit membedakan mana yang milisi dan TNI karena kenyataannya milisi berada di bawah komando kopassus dan TNI.  
Meskipun demikian, kita tidak perlu mencari siapa yang menjadi aktor kekerasan. Kekerasan itu terjadi karena penggunaan kekuasaan dengan sistem militerisme. Milisi dan militer bertindak dalam koridor dan instruksi penguasa. Penguasa menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan penduduk yang baru menantikan seberkas harapan pada detik-detik berakhirnya pemerintahan militerisme Indonesia. Indonesia pulang dengan tangan berlumuran darah. Itulah kenyataan perpolitikan Indonesia yang sarat kekerasan.  Ribuan rakyat Timor-Timur menjadi korban atas rekayasa politik rezim militeristik. 

4.4.1. Punitif
4.4.1.1. Otonomi Kalah Timor-Timur Banjir Darah
“Otonomi kalah Timor-Timur banjir darah” adalah sebuah kekerasan yang bermuatan politik. Ungkapan ini mengafirmasi pembahasan pada sub sebelumnya (tidak ada negara Timor Leste), bahwa kalau pro-kemerdekaan berniat untuk mendirikan sebuah negara baru maka konsekuensinya adalah Timor-Timur banjir darah. Hal ini menjadi kenyataan ketika posisi pro-integrasi hampir saja tersingkir dalam percaturan politik tingkat tinggi. Secara psikologis Indonesia gagal dalam percaturan politik sehingga ancaman “banjir darah” benar-benar menjadi kenyataan. Jauh sebelum referendum, militer Indonesia dan milisi sudah melayangkan ancaman akan terjadi pembantaian massal dan pembumihangusan bila otonomi kalah dalam referendum. 
Ancaman pembumihangusan dan banjir darah, menurut Galtung adalah penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini kelompok yang berkuasa atau penguasa itu sendiri menampilkan diri secara kejam sehingga kelompok bawahan merasa takut untuk melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh penguasa. Karena itu kekerasan yang dilakukan berada dalam medium kepatuhan.  Oleh karena kekerasan langsung  yang dilakukan oleh kelompok yang dikuasai (milisi) berada dalam ranah ketaatan dan kepatuhan, maka dapat disimpulkan bahwa aktor kekerasan adalah penyalahgunaan kekuasaan penguasa. Pasca-referendum 1999 milisi entah sadar atau tidak, mereka berada dalam kekuasaan Jakarta. Kebijakan politik yang dihasilkan oleh Jakarta berdampak pada kekerasan 1999. Timor-Timur benar-benar menjadi banjir darah sesuai dengan target para penguasa.  
Dengan demikian, target Timor-Timur banjir darah adalah sebuah kekerasan yang langsung di bawah kendali penguasa. Timor-Timur menjadi banjir darah ketika milisi melancarkan kekerasan secara terbuka dan mengintimidasi kelompok pro-kemerdekaan secara terang-terangan. Karena itu menurut Galtung salah satu kekerasan yang paling menakutkan dan menimbulkan trauma yang berkepanjangan adalah perang atau konfrontasi terbuka.  
4.4.1.2. Pro-Kemerdekaan: Komunis Yang Harus Dibunuh
Kehadiran Indonesia di Timor-Timur adalah untuk membasmi komunis. Rekayasa politik ini sengaja dirancang oleh kelompok APODETI yang pada waktu itu ingin bergabung dengan Indonesia. Dengan itu kemerdekaan Timor Leste pada 1975 diklaim sebagai kemenangan komunis. Oleh karena dianggap komunis, maka periode integrasi dilihat sebagai periode kekerasan. Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai negara “bertuhan” tidak memberikan kesempatan kepada rakyat Timor-Timur untuk menentukan nasibnya sendiri, justru senjata dan kekerasan menjadi jalan keluar.  Kehadiran militer adalah mengemban misi  pembasmian komunis. Anarkisme milisi dan TNI pasca-referendum adalah kelanjutan dari rezim kekuasaan militer. Kebijakan politik selalu melibatkan kekuatan militer dan kekerasan sebagai jalan keluar. Itulah cara kerja penguasa militeristik Jakarta dalam membasmi pendukung kemerdekaan. Tujuan dari segala macam kekerasan itu adalah untuk menghapus komunis dan mempertahankan keutuhan NKRI. Namun apakah disebut pancasilais kalau militer dijadikan kekuatan dalam percaturan politik? Di sini kekuasaan menjadi sumber lahirnya politik kekerasan.
Kekerasan langsung yang dilancarkan oleh para milisi sangat mempertanyakan kematangan politik Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah Indonesia tidak mampu menghentikan kekerasan para milisi ataukah kekerasan itu sendiri adalah rekayasa politik? Dikatakan rekayasa politik karena semua sistem hukum tidak berjalan. Ada tendensi kekebalan hukum (impunity) terhadap para pelaku kejahatan.  TNI dan POLRI terlibat langsung dalam aksi-aksi kekerasan namun para penguasa bersikap apatis dan membiarkan kejahatan tetap merajalela di negeri yang tertindas itu. Ketertindasan rakyat merupakan sebuah jawaban tentang teka-teki keterlibatan penguasa dalam jaringan kriminal. Meskipun keterlibatan penguasa tidak secara konkrit nyata di lapangan, namun secara hukum penguasalah yang menjadi aktor kekerasan langsung itu karena menggunakan kekuatan militer dalam seluruh kebijakan politiknya.
4.4.1.3. Pembunuhan dan Penghancuran Total
Seperti sudah diulas dalam bab sebelumnya bahwa pembunuhan dan penghancuran total adalah sebuah kebijakan politik penguasa dengan menggunakan kekuatan militer. Keterlibatan militer dalam percaturan politik adalah satu hal yang sudah barang biasa di Republik Indonesia. Militer selalu tampil sebagai perpanjangan tangan pemerintah baik dalam pengambilan kebijakan politik maupun dalam aksi-aksi kekerasan. 
Kekerasan milisi pada tahun 1999 bukanlah sebuah kekerasan biasa. Kekerasan yang langsung dimotori oleh penguasa militeristik adalah kekerasan yang berskala besar dan berakibat pada penghancuran total. Disebut penghancuran total karena kekerasan itu mendestruksi segala sesuatu. Penyerangan membabibuta, TNI dan POLRI kembali berpakaian preman bahkan terang-terangan terlibat dalam aksi para milisi asuhan Jakarta. Berhubungan dengan penghancuran total ini, James Dunn (pengamat HAM PBB pada masa transisi) merekomendasikan kepada komisi pelanggaran HAM agar memperhatikan gelombang kejahatan.

Gelombang kekerasan melahirkan kejahatan berat terhadap kemanusiaan. Kejahatan ini meliputi: pembunuhan, termasuk pembunuhan massal, penyiksaan, penculikan, serangan seksual, dan serangan terhadap anak-anak, serta deportasi massa, dan dislokasi paksa. Kejahatan terhadap kemanusiaan juga meliputi penghancuran besar-besaran tempat tinggal, dan pelayanan dasar untuk menegakkan hak dasar rakyat Timor-Timur atas kesehatan dan pendidikan. Selain itu juga terjadi pencurian besar-besaran harta benda rakyat Timor-Timur. 
Pembunuhan dan penghancuran total ini terjadi akibat adanya militerisasi, di mana penguasa me-militer-kan kelompok pro-integrasi dalam mematahkan kekuatan pro-kemerdekaan. Dalam penjelasannya tentang militerisme, Galtung mengatakan peperangan dan penyerangan terjadi karena didukung oleh struktur, dalam hal ini adalah dukungan struktur pemerintah.  Dengan demikian kekerasan langsung yang dilancarkan oleh milisi tentu tidak terlepas dari keterlibatan pemerintah, baik dalam dukungan persenjataan, finansial dan pelatihan kemiliteran. Pemerintah Indonesia tentu bertanggungjawab atas kekejaman para milisi yang sebenarnya adalah pengemban tujuan pemerintah untuk melancarkan kekerasan di balik kibaran Merah Putih. 
4.4.2. Propaganda, Teror dan Intimidasi
4.4.2.1. Milisi Melancarkan Kekerasan Sistematis: Apatisme Penguasa
Propaganda, teror dan intimidasi adalah sumber lahirnya tendensi totalitarianisme dan potensial menjadi totaliter. Hal ini tampak dalam penggunaan cara-cara di luar hukum untuk mengancam dan mengintimidasi masyarakat kecil untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.  Penguasa bahkan mempropagandakan segala kebenaran. Hal ini terjadi pada para politisi Jakarta yang memprovokasi kemenangan absolut pro-kemerdekaan pasca-referendum 1999 menjadi teror ancaman dan pembunuhan. Jakarta sudah menargetkan bahwa pro-integrasi akan menang mutlak dalam referendum, namun yang terjadi melenceng jauh dari prediksi Jakarta. Karena itu strategi penghancuran dan pembumihangusan yang telah lama dirancang benar-benar menjadi kenyataan. Indonesia gagal memenangkan hati rakyat.
Sikap apatisme penguasa memberikan peluang bagi para milisi untuk melancarkan teror dan intimidasi, kemudian berakhir pada pembunuhan. Mekanisme hukum di Indonesia tidak menjamin proses penegakan hukum yang adil. Kelumpuhan mekanisme hukum ini terjadi karena personil-personil penegak hukum mempunyai kaitan dengan rezim militerisme  (siapa mau menghukum siapa, jajaran pemerintahan terlibat dalam aksi kekerasan baik secara langsung maupun dalam tataran struktural). Oleh karena spiral kekuasaan yang saling berkorelasi,  maka penegakan kebenaran adalah sebuah kemustahilan. Pelanggaran HAM berat adalah sesuatu yang biasa dan tanpa ada proses peradilan. Kalau pun ada proses peradilan, argumen pembelaan diri adalah jalan terakhir.
4.4.2.2. TNI Terlibat Dalam Kekerasan dan Pelanggaran HAM Berat
Keterlibatan TNI dalam pelanggaran HAM sudah tidak asing lagi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Mungkin karena alasan itu kehadiran TNI di berbagai pelosok selalu disambut dengan aksi penolakan. TNI lebih banyak bertindak di luar koridor hukum. Ironisnya bahwa tindakan indisipliner TNI tidak ditindaklanjuti secara hukum, bahkan mereka yang terlibat kasus pelanggaran berat HAM justru dipromosikan untuk menduduki posisi penting dalam struktur pemerintahan maupun kemiliteran. Fenomena seperti ini yang membuat pelanggaran HAM dianggap sebagai persoalan biasa bahkan sering diabaikan oleh penegak hukum. Kalau pun para kriminal diproses dalam peradilan tetapi itu sebenarnya hanya sebuah formalitas, demi menunjukkan citra bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdiri di atas hukum.
Keterlibatan militer dalam pelanggaran HAM adalah sebuah kebijakan politik penguasa yang bersifat militeristik. Mengapa dikatakan militeristik karena penguasa sebagai pengendali kekuasaan tidak mampu mengintervensi kekejaman militer dalam sebuah kekerasan. Melihata keterlibatan militer (TNI) dalam sejumlah kekerasan, Jakarta tidak mampu menghentikan atau menarik TNI tersebut ke barak militer; justru sebaliknya pemerintah “ikut bermain” dalam tindakan kekerasan militer. Pelanggaran HAM dan penindasan martabat masyarakat Timor-Timur terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada pasca-referendum 1999. Negara “ikut bermain” dalam kegiatan militer. Keikutsertaan negara dalam kekerasan pasca-referendum 1999 terbukti dalam aksi pembiaran dan pelanggaran berbagai konsensus baik di tingkat nasional maupun internasional. 
Mengapa kehadiran militer baik itu asli TNI maupun militerisasi termasuk milisi selalu identik dengan kekejaman? Karena memang militer dilatih untuk bertindak sedemikian rupa sehingga dapat ditakuti oleh siapapun yang berbeda ideologi dengan Indonesia. Berhubungan dengan itu, Timor-Timur tidak mungkin luput dari kekerasan militer karena berbeda ideologi dan ingin berpisah dengan wilayah Republik Indonesia. Tentu dianggap sebagai musuh negara, maka konsekuensi lanjutnya adalah pembunuhan dan menghalanginya dengan berbagai cara agar keutuhan NKRI tetap terjaga. Kebebasan dan hak untuk merdeka diintervensi dengan anarki dan pendekatan militer.
Dalam kaitan dengan keterlibatan TNI dalam pelanggaran HAM pasca-referendum 1999, Galtung menilai bahwa dalam diri militer sudah ditanamkan pengetahuan tentang bagaimana cara untuk meningkatkan penderitaan dan menurunkan kehidupan (pembunuhan). Tidak ada rasa belas kasihan, yang ada hanyalah kebencian terhadap pihak lawan.  Berhadapan dengan prinsip dasar perjuangan Timor-Timur yang berbunyi, “mate ka moris ukun rasik-an. A luta continua/mati atau hidup merdeka. Perjuangan berjalan terus”  Jakarta tidak mungkin mengubah kebijakan politiknya, karena pro-kemerdekaan adalah musuh. Karena itu harus dibantai agar yang ada hanyalah orang-orang yang loyal kepada Pancasila dan Merah Putih. Tindakan semacam ini adalah melanggar HAM tentang kebebasan dan penentuan nasib sendiri yang digariskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 1 dan 3, serta melanggar Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 pasal 1 ayat 1. 
Keterlibatan TNI dalam pelanggaran berat HAM tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pemerintah pusat. Alasannya adalah kehadiran militer di Timor-Timur adalah sebuah tugas. Di mana militer diikutsertakan dalam kebijakan pemerintah untuk menjaga keamanan, namun yang terjadi adalah kekerasan berskala besar yang memakan korban jiwa. Di sini secara otomatis kekerasan itu dialamatkan kepada pemerintah. Semua kekerasan yang terjadi di Timor-Timur mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Pemerintah Indonesia dan militer adalah satu, karena militer merupakan kekuatan politik Jakarta. Dengan demikian pemerintah pusat ikut-serta dalam pelanggaran HAM di Timor-Timur, khususnya di kota Dili dan sekitarnya.

4.4.2.3. Penculikan Di Kamp Pengungsian: Pembunuhan Di Luar Hukum
  Kekerasan yang dilakukan oleh para milisi dan diback-up oleh TNI terjadi juga di kamp-kamp pengungsian di Dili. Mereka menyerang, membunuh masyarakat sipil yang mencari perlindungan di tempat pengungsian. Selain itu para milisi juga menculik kaum muda yang dianggap sebagai pro-kemerdekaan. Tindakan seperti ini adalah pembunuhan di luar hukum dan tidak berperikemanusiaan. Mengintimidasi dan menculik lawan politik atau masyarakat sipil yang mengaku lemah dan menyerah adalah tindakan yang kejam. Dalam hal ini apakah pemerintah pusat prihatin dengan nasib para korban? Pemerintah sama sekali tidak peduli bahkan mendukung kejahatan itu dengan aksi pembiaran sehingga para korban terus dibantai dan mayat-mayat mereka dikuburkan secara massal. 
Penjelasan di atas sebenarnya hanya mau mempertanyaan kepedulian pemerintah dalam kasus kekerasan dan pembunuhan massal di Timor-Timur. Akibat kebobrokan politik penguasa, masyarakat kecil semakin menderita dan nyawa menjadi taruhan demi mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Seandainya pemerintah bijaksana dalam menempatkan militer dan berusaha untuk tidak memberikan senjata kepada milisi (tentara ilegal) maka kekerasan tidak mencapai taraf penghancuran total. Strategi militerisasi pemerintah membawa dampak kekerasan yang mengakibatkan harga diri dan martabat masyarakat tidak berarti sama sekali di hadapan para militer dan milisi Jakarta.
Pembunuhan di luar hukum seperti penculikan, pemerkosaan dan penyiksaan lawan politik adalah sebuah kebiasaan militer. Militer tidak mengenal kompromi, musuh harus mati. Kalau pun selamat adalah sebuah keajaiban. Karena itu militer sangat ditakuti oleh masyarakat yang memiliki jiwa nasionalisme untuk merdeka. Meskipun demikian kemerdekaan itu telah dicapai lewat percaturan politik tingkat tinggi dan rakyat telah memenangkan kemerdekaan itu. Kalau diselidiki lebih jauh kekerasan dan pembumihangusan adalah ungkapan kekalahan dalam percaturan politik tingkat tinggi. Dengan itu semua bentuk propaganda, teror, intimidasi dan pembunuhan massal merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Militer ditugaskan oleh pemerintah maka aktor utama dari segala kebobrokan itu adalah pemerintah sendiri.

4.5. KEKUASAAN: MOTOR POLITIK KEKERASAN
Mengapa kekuasaan dilihat sebagai motor kekerasan? Hal ini dapat dilihat dalam realitas hidup manusia yang pada dasarnya mempunyai kekuasaan sejak dia lahir (being power) dan memiliki kekuasaan (having power) karena menduduki posisi penting dalam sebuah struktur. Misalnya seorang presiden memiliki kekuasaan karena menduduki struktur (structure power) tertinggi dalam sebuah negara. Karena itu, kekuasaan yang dimiliki seseorang dalam sebuah struktur menjadi dasar bagi lahirnya kekerasan. Galtung menegaskan bahwa kekerasan yang merebak ke seluruh dunia disebabkan karena adanya penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu menurutnya kekuasaan menjadi motor kekerasan. 
Pemikiran Galtung  tentang politik kekerasan berangkat dari konsepnya tentang kekuasaan. Tipe-tipe kekuasaan dan kekerasan yang sudah dibahas pada bab-bab sebelumnya memiliki potensi untuk melahirkan politik kekerasan. Politik kekerasan ditandai oleh kebijakan politik yang bernuansa kekerasan yang diambil oleh pemerintah yang nantinya menimbulkan kekerasan langsung, tidak langsung dan representatif. Kekerasan-kekerasan ini dilakukan oleh kelompok tertentu  demi mewujudkan tujuan politik penguasa. Dalam hal ini pemerintah atau penguasa diklaim sebagai aktor kekerasan. Kembali pada inti persoalan, kekerasan, pembumihangusan dan pembunuhan yang dilakukan oleh milisi pasca-referendum 1999 di Timor-Timur, khususnya kota Dili adalah demi mewujudkan tujuan penguasa. Para milisi hanya perpanjangan tangan penguasa Jakarta. Mereka membunuh atas nama pemerintah. Karena itu tindakan kekerasan milisi dianggap sebagai kekerasan vertikal (diperintahkan dari atas) sehingga kebenaran bagi para milisi adalah melaksanakan perintah atasan/pemerintah. 


4.5.1. Jakarta Berwajah Ganda: Pendamai dan Anarkis
Jakarta dicap berwajah ganda di sini tidak lain adalah karena pemerintah lebih banyak tidak konsisten dengan keputusan politik. Dalam kesepakatan bersama di New York Indonesia diberi kepercayaan untuk menjaga keamanan pada proses referendum 1999. Namun kepercayaan itu hanya sebatas wacana. Tidak mungkin Jakarta menjadi penjaga keamanan yang baik, karena jauh sebelumnya Indonesia telah merekrut dan membagikan senjata kepada milisi pro-integrasi untuk tetap mempertahankan eksistensi Indonesia. Di lain pihak Jakarta menutup anarkisme politiknya dengan berpura-pura sebagai penengah dan pendamai. Dunia pun turut prihatin dengan kedewasaan berpolitik Jakarta. Dunia mempertanyakan ribuan senjata yang menyebar ke tangan milisi.Selain itu TNI yang sebenarnya bertugas untuk menjaga dan melindungi masyarakat justru terlibat dalam aksi kebrutalan milisi. Sementara itu pemerintah pusat dan daerah diam dan membiarkan kejahatan milisi dan TNI terus terjadi dalam aksi penghancuran total. Semua ini terjadi karena kekuasaan penguasa sudah direduksi ke dalam sistem militerisme.
Kekuasaan yang terlampau otoriter adalah sebuah kekuasaan yang mengandalkan kekerasan sebagai jalan keluar. Ini berarti kekerasan dijadikan sebagai instrumen penguasa dalam meraih tujuan-tujuan politisnya. Fakta seperti ini yang terjadi ketika penguasa Jakarta menggunakan kekuatan militer sebagai kekuatan politik di Timor-Timur pasca-referendum1999. Dalam kesepakatan bersama diputuskan bahwa Indonesia akan menjaga keamanan sedemikian rupa sehingga rakyat boleh bebas menentukan pilihan secara tepat sesuai dengan hati nurani, namun Indonesia lebih banyak menyimpang dari konsensus bersama dan menggerakkan kekuatan militer untuk meluluh-lantakkan lawan politik yang menang dalam referendum. Politik seperti ini yang penulis sebuat sebagai politik “wajah ganda”. Di depan publik pemerintah menampilkan diri sebagai sebuah negara yang sangat demokratis dan seolah-olah menjunjung tinggi hak asai manusia tetapi dalam prakteknya justru bersikap anarkis dan menakutkan.
Anarkisme penguasa tampak dalam dukungannya kepada para milisi sehingga mereka leluasa melancarkan kejahatan yang melumpuhkan segala sesuatu, baik itu keamanan, kebebasan dan hak untuk hidup. Semuanya diintervensi oleh pemerintah dengan kekuatan militer sehingga yang terjadi adalah penghancuran total. Harapan pro-kemerdekaan dilumpuhkan dengan pendekatan militer. Tidak menutup fakta bahwa untuk menghadapi penguasa yang berwajah anarkis ini, kubu dari pihak pro-kemerdekaan juga melakukan kekerasan tetapi, itu dilihat sebagai kekerasan balasan (counter violence) atau bersifat defensif untuk mempertahankan hidupnya dari tangan-tangan serigala bayaran penguasa Jakarta. 

4.5.2. Menggunakan Kekuatan Militer Untuk Mewujudkan Tujuan Politik
Sub ini bukan merupakan suatu pengulangan dari sub-sub yang sudah dibahas tetapi untuk menegaskan kembali bahwa kekuatan militer adalah cara yang dipakai oleh penguasa Jakarta untuk mewujudkan tujuan politiknya, yakni ingin tetap berkuasa dan menduduki Timor-Timur. Namun karena tujuan untuk tetap berkuasa akan segera berakhir, maka satu-satunya cara yang dipakai adalah kampanye kekerasan sebelum berpisah dari negeri yang ditindasnya selama 24 tahun itu. Menggunakan kekuatan militer dalam percaturan politik dalam ranah nasional sudah menjadi suatu kebiasaan bagi bangsa Indonesia, karena dalam seluruh sistem pemerintahan Indonesia didominasi oleh para perwira tinggi militer binaan Soeharto. 
Dominasi militer dalam permainan politik tentu membawa dampak yang cukup berbahaya dalam seluruh percaturan politik. Berbahaya karena tujuan politik yang sebenarnya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat direduksi ke dalam sistem totaliter militerisme. Karena itu ada peluang bagi penguasa untuk menggunakan kekerasan sebagai intrumen dalam penyelesaian suatu masalah.  Militer sebagai sumber kekuatan politik tampak sangat jelas dalam peristiwa pasca-referendum 1999 di Timor-Timur. Militer dijadikan sebagai instrumen pemerintah untuk mewujudkan tujuannya. 
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa militerisme merupakan salah satu aspek kekerasan langsung dan tidak langsung dengan cara penyebaran militer ke daerah yang dikuasainya demi mewujudkan tujuan penguasa baik dalam aksi nyata, provokasi atapun suatu tindakan kekerasan. Karena itu militer dilihat sebagai ancaman bagi kehidupan manusia. 


4.5.3. Pemerintah Sebagai Aktor Kekerasan
Kekerasan sistematis mulai dari, teror, intimidasi, penculikan, pembunuhan, pemindahan paksa dan kekerasan seksual pasca-referendum 1999 di Timor-Timur, secara khusus di kota Dili, adalah akibat dari permainan politik kotor para penguasa Jakarta. Para politisi dan pemerintah terlampau afiliatif dengan kekuatan militer sehingga apa pun yang ditugaskan atau diperintahkan oleh pemerintah harus ditaati dan wajib dijalani. Milisi adalah sebuah kelompok “militer” yang sengaja dibentuk oleh pemerintah untuk mengabdi negara. Dikatakan militeristik karena segala sesuatu yang berhubungan dengan penggajian, dukungan senjata dan bahkan latihan kemiliteran persis sama dengan TNI. Perbedaannya adalah TNI memiliki pangkat sedangkan milisi tidak berpangkat. 
Meskipun para milisi tidak berpangkat tetapi dikukuhkan secara sah oleh pemerintah dan para perwira tinggi militer di depan kantor gubernur Timor-Timur.  Oleh karena itu para milisi adalah militer Jakarta yang siap memperjuangkan kedaulatan NKRI. Milisi menjalankan tujuan pemerintah. Karena menjalankan amanat pemerintah dan selalu bertindak di bawah koridor militer maka pemerintah sendiri adalah aktor utama kekerasan pasca-referendum 1999. Penulis sudah memberikan data-data yang cukup mewakili pada bab sebelumya tentang apa dan siapa itu milisi; untuk apa dan demi siapa kelompok militer ilegal itu dibentuk. Itu yang menjadi alasan mengapa penulis menuduh pemerintah Indonesia sebagai aktor kekerasan itu.
Aktor kekerasan di sini lebih menekankan aspek politik. Dalam seluruh kebijakan pemerintah selalu termuat bobot kekerasan. Politik yang bermuatan kekerasan itu nyata dalam kekerasan sistematis yang dilakukan oleh para milisi dan TNI di Timor-Timur. Kekerasan-kekerasan itu tidak ditindak-lanjuti secara hukum karena semua jajaran pemerintah mengambil bagian dalam kekerasan itu. Karena itu pantas kita katakan bahwa siapa mau menghakimi siapa? Semuanya berlumuran darah baik secara langsung maupun dalam tataran politis. Para perwira tinggi militer yang melanggar hak asasi manusia justru dianggap sebagai para perwira yang berhasil. Karena itu semua pelanggaran berat HAM tidak diintervensi secara hukum karena mereka ini berjuang atas nama pemerintah Indonesia. Oleh karena kekerasan itu merupakan kekerasan representatif maka aktor utama dari segala kebobrokan pasca-referendum 1999 adalah pemerintah Indonesia yang diwakili oleh para milisi dan TNI.
4.6. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari keseluruhan bab ini, penulis menyimpulkan bahwa aktor utama kekerasan pasca-referendum 1999 di Timor-Timur adalah pemerintah Indonesia. Tesis dasarnya adalah pemerintah menggunakan pendekatan militer untuk melegitimasi kekerasan baik secara langsung maupun tidak langsung demi tercapainya tujuan pemerintah Indonesia. Aktor utama kekerasan ini terbukti juga dalam sikap apatis terhadap kekerasan milisi dan Indonesia menyalahi tanggung jawabnya untuk menjaga stabilitas dan ketenteraman bagi masyarakat sipil. TNI dan POLRI yang sebenarnya bertugas untuk menjamin keamanan justru menjadi sumber malapetaka dan memihak pro-integrasi. Kelompok pro-kemerdekaan di mata pemerintah Indonesia adalah lawan dan komunis yang harus dibantai. Alasan itu yang menjadi latar belakang lahirnya kelompok milisi dan militerisasi untuk menjalankan misi pemerintah dalam mematahkan kekuatan lawan politik.
Pasca-referendum 1999 rakyat Timor-Timur sungguh dijadikan sebagai “makhluk buruan”; di mana-mana ada pengejaran dan pembantaian. Strategi pembumihangusan membuat masyarakat benar-benar teralienasi di daerahnya sendiri. Selebihnya mereka dievakuasi secara paksa untuk memberikan bobot manipulasi politik Indonesia bahwa masyarakat ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia. Sesampai di Indonesia (Timor Barat dan wilayah lain Indonesia) para pengungsi tersiksa karena selalu dihujani dengan teror, intimidasi dan pelecehan seksual. Berhadapan dengan fenomena kebobrokan ini tanggung jawab Indonesia perlu dipertanyakan kembali. Semua ini hanya mau membuktikan bahwa pemerintah Indonesia terbukti melakukan pelanggaran HAM dan bertanggungjawab atas kekerasan Timor-Timur pasca-referendum 1999.
Menurut Galtung, pemerintah telah menghancurkan empat kebutuhan dasar manusia Timor-Timur, yakni; pertama, kebutuhan dan hak untuk bertahan hidup direduksi menjadi kematian; kedua, kebutuhan dan hak untuk hidup tenang dan sejahtera direduksi menjadi kesengsaraan; ketiga, kebutuhan akan identitas dan harga diri menjadi teralienasi dan terasing dan yang keempat, kebutuhan dan hak untuk penentuan nasib sendiri direduksi menjadi penindasan dengan kekuatan militer. 

BAB V

PENUTUP


5.1. KESIMPULAN 
Dalam kehidupan manusia selalu terjadi kekerasan. Ada berbagai macam jenis kekerasan. Kekerasan-kekerasan itu bisa terjadi secara langsung, tidak langsung atau pun terjadi karena apa yang disebut oleh Johan Galtung sebagai kekuasaan (power). Tanpa kekuasaan tidak akan pernah terjadi kekerasan. Karena itu berbicara soal fenomena kekerasan dalam politik, orang harus bertolak dari kekuasaan. Dalam tema yang diangkat, penulis melihat politik kekerasan sebagai penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dari seorang penguasa terhadap kelompok yang dikuasai. Dalam seluruh rangkaian penulisan karya ini, penulis selalu menyoroti motor kekerasan sebagai akibat dari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang penguasa dalam sebuah struktur/negara. 
Menilai kekerasan pasca referendum 1999 di Timor-Timur bukanlah sesuatu yang mudah. Bagaimana pun kita mesti terbuka terhadap segala aspek untuk mengatakan bahwa kekerasan di Timor-Timur ada kaitannya juga dengan kekerasan pasca deklarasi unilateral 28 November 1975 dan kekerasan balas dendam. Namun yang menarik untuk ditelaah secara kritis adalah kekerasan milisi pasca-referendum 1999. Apakah kekerasan itu dikategorikan sebagai kekerasan murni? Ataukah ada penyalahgunaan kekuasaan dalam struktur pemerintah Indonesia? Penyalahgunaan kekuasaan itu berhubungan dengan kebijakan politik Jakarta yang di dalamnya ada muatan kekerasan.
 Berbicara tentang Indonesia dalam hubungannya dengan politik, tidak terlepas dari militerisme. Dalam seluruh komponen dan jajaran pemerintah Indonesia didominasi oleh para perwira tinggi militer. Kekuatan militer digunakan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan politis. Oleh karena penguasa menggunakan kekuatan militer sebagai instrumen, maka hampir seluruh kebijakan politik penguasa ada muatan kekerasan. Kalau demikian adanya maka politik itu sendiri adalah kekerasan. Dalam kaitan dengan kekerasan di Timor-Timur, kekuasaan politik diambil-alih oleh para perwira tinggi militer yang sebelumnya sudah terafiliasi dengan Jakarta pusat. Untuk menjaga privasi militer sebagai sebuah institusi resmi, maka jalan keluar yang diambil adalah memberikan senjata kepada para milisi yang sudah dipersiapkan khusus sebagai kekuatan alternatif untuk menghancurkan Timor-Timur. Oleh karena itu berbicara tentang penghancuran sistematis pasca-referendum 1999 mesti selalu dikaitkan dengan pemerintah RI. Meskipun demikian, militer sebagai kekuatan politik penguasa Jakarta, tangannya turut berlumuran darah. Dikatakan demikian karena, tindakan kekerasan milisi adalah manifestasi kekerasan penguasa Jakarta. Penguasa memberikan kebijakan dan strategi politik sedemikian rupa sehingga para milisi dan TNI termotivasi untuk menghancurkan Timor-Timur, khususnya kota Dili dan sekitarnya. Mereka melakukan kekerasan atas nama pemerintah Indonesia. Inilah yang disebut oleh  Galtung sebagai kekerasan representatif. 
Tujuan lahirnya kelompok milisi Aitarak adalah untuk memperkuat kekuatan politik pemerintah Indonesia. Dalam hal ini milisi tampil sebagai perpanjangan tangan pemerintah untuk menegakkan integrasi. Namun, de facto upaya untuk mempertahankan keutuhan NKRI menjadi gagal dan sedang di ambang perpecahan ketika mayoritas rakyat Timor-Timur menolak otonomi khusus.  Ini berarti bahwa Indonesia beserta kekuatan militernya harus angkat kaki dari Timor-Timur. Berhadapan dengan kekalahan politik seperti ini, kekerasan justru menjadi jalan keluar. Pemerintah bungkam dengan situasi chaos yang ada. Presiden Habibie pun mengakui bahwa kekerasan Timor-Timur tidak dapat dicegah lagi.   Ungkapan ini merupakan sebuah pernyataan pembiaran dan mendukung sebuah kekerasan yang sebenarnya sudah ditanamkan oleh Soeharto. Dengan demikian rentetan peristiwa kekerasan, teror, propaganda, intimidasi, pembumihanggusan dan pembunuhan merupakan kebijakan politik pemerintah Indonesia. Oleh karena itu pemerintah Indonesia adalah aktor kekerasan pasca-referendum 1999 dan tindakan kekerasan milisi bukan kekerasan murni tetapi bernuansa politik yang langsung dimotori oleh Jakarta dengan kekuatan militer.


5.2. USUL-SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukan beberapa usul-saran yang berguna, yakni: pertama, kekerasan selalu melahirkan kekerasan karena itu kekerasan bukanlah jalan terakhir untuk menyelesaikan suatu masalah. Kedua, politik yang benar mesti berjuang untuk kesejahteraan masyarakat (Bonum Commune), bukan untuk menghancurkan dan mematikan masyarakat demi mengejar sebuah tujuan tertentu. Ketiga, pemerintah yang baik adalah memerintah berdasarkan undang-undang dasar yang dianut oleh negara tersebut, bukan memerintah dengan kekuatan militer. Keempat, memerintah dengan kekuatan militer hanya akan menghasilkan penderitaan dan air mata. Karena itu hendaklah pemerintah bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan, biar sulit sekalipun. Kelima, berhadapan dengan kekerasan pasca-referendum 1999 di Timor-Timur khususnya di kota Dili, hendaknya orang tidak mengambil keputusan secara gegabah bahwa kekerasan yang berpotensi menghancurkan itu adalah kekerasan murni. Untuk itu, perlu diselidiki lebih jauh asal-usul dan tujuan lahirnya kelompok milisi, agar kita tidak saling mempersalahkan. Kita perlu mencari tahu siapa yang menjadi aktor kekerasan yang sesungguhnya. Keenam, politik kekerasan pasca-referendum 1999 adalah sebuah kebijakan politik pemerintah yang disengajakan. Alasannya karena kelompok milisi dipersiapkan khusus untuk menjadi kekuatan politik penguasa Jakarta, di mana mereka telah menargetkan bahwa jika otonomi kalah, Timor-Timur akan banjir darah. Hal ini terbukti dalam kekerasan destruktif 1999 sesudah otonomi dinyatakan kalah dalam referendum.
Karya ini tidak bermaksud untuk mempersalahkan pemerintah Indonesia.  Penulis hanya terpanggil untuk menunjukkan fakta yang benar-benar terjadi di Timor-Timur pasca-referendum 1999. Yang penulis usahakan dalam karya ini adalah menunjukkan jejeran fakta dan tragedi apa adanya. Sasaran yang hendak dituju adalah membuktikan bahwa kekerasan yang dilancarkan oleh para milisi ada muatan politik dan demi tujuan politik penguasa. Karena itu karya ini mengulas cukup jelas tentang keterlibatan pemerintah dalam aksi milisi. Meskipun demikian, penulis sadar bahwa tulisan ini tidak memuat kebenaran mutlak, karena itu penulis terbuka terhadap semua pihak untuk memberikan saran akademis yang berguna. Karya ini terbuka kepada semua orang untuk dibuktikan salah.
Akhirnya penulis ingin menyarankan kepada semua pihak untuk berjuang guna memutuskan rantai kekerasan dan mengupayakan perdamaian global. Kita perlu berusaha terus agar tidak terjebak dengan militerisme penguasa yang otoriter. Kita perlu terus mengikis penderitaan dan berjuang demi kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat kecil.


DAFTAR PUSTAKA

SUMBER UTAMA
1. BUKU-BUKU
Amado H. Rosentino dan Nihal Bhuta, Mekanisme Peradilan Internasional Untuk Timor Lorosae. Dili: Perkumpulan HAK dan Fokupers. 

Budi K, Paul, Otto Gusti Madung (Ed.), Menukik Lebih Dalam. Maumere: Ledalero, 2009.
Kuntari, Rien, Timor-Timur Satu Menit Terakhir, Catatan Seorang Wartawan. Bandung: Mizan, 2008.

Galtung, Johan, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Asnawi dan Safruddin  (Trans.), Surabaya: Pustaka Eureka, 2003.

Khisbiyah, Yayah, (Ed.), Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Lubis, Mochtar, (Peny.), Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor, 1988.

Makarim, Z. Anwar, (Ed.) Hari-Hari Terakhir Timor-Timur: Sebuah Kesaksian. Jakarta: Enka Parahiyangan, 2003.
Nevins, Joseph, Pembantaian Timor-Timur Horor Masyarakat Internasional. Yogyakarta: Galangpress, 2008.

Windhu, Marsana I, Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

2. BAHAN INTERNET
Chega, “Laporan Final Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Di TimorLeste”, CAVR (Online), 2006, (http://www.etan.org/news/2006/cavr.htm,bh/.pdf, diakses 17 Oktober 2011).
Geoffrey Robinson, “East Timor 1999 Crimes against Humanity”. A Report Commissioned By The United Nations Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR). Dalam Chega, CAVR (Online), 2006, (http://www.etan.org/news/2006/cavr.htm,bh/.pdf, diakses 17 Oktober 2011).
James Dunn, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor-Timur, Januari sampai Oktober 1999 Hakekat dan Sebab-sebabnya” (Online), (http://www.google.com/xhtml?q=James%20Dun%2ckejahatan%20terhadap%20kemanusiaan%20di%20timor%20timur&client=msopera_mb_no&channel=bh), diakses pada tanggal 7 November 2011). 
Rasta Root Guy, “Lebih Jauh Dengan Professor Johan Galtung” (Online), (http://memecahsenyap.blogspot.com/, diakses tanggal 17 September 2011).

Tempo Interaktif, “Laporan Dari TimTim: Kehadiran Aitarak dan Sejumlah Aksi Kekerasan Teror, Intimidasi, Penyiksaan Serta Pembunuhan”, (Online), (http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/siarlist/mailist.html, diakses tanggal 28 Oktober 2011).

 SUMBER PENDUKUNG
1. KAMUS
Badudu, J. S. dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 2001.

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

2. BUKU-BUKU 
A. Muhaimin Yahya, Perkembangan Militer Dalam Politik Di Indonesia 1945-1966. Yogyakarta: Gajah Madah University Press, 1982.

Budi Hardiman, F, Massa, Terror dan Trauma. Menggeledah Negativitas Masyarakat Kita. Yogyakarta: Lamalera, 2008.

Budi K, Paul, Teologi Terlibat, Politik dan Budaya Dalam Terang Teologi. Maumere: Ledalero, 2003.

Diah, P. Rieke, Banalitas Kekerasan, Telaah Pemikiran Hannah Arendt Tentang Kekerasan Negara. Depok: Koekoesan, 2010.

Nelson, K. Campbell (Ed.), Perempuan Dibawa/h Laki-Laki Yang Kalah: Kekerasan Terhadap Perempuan Timor-Timur Dalam Kamp Pengungsian Di Timor Barat. Kupang: Kerja Sama Jaringan Kesehatan Perempuan Indonesia Timur (JKPIT) dan Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL).

Rudini, Daniel Dhakidae dan Hotman M. Siahaan, (Ed.), ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidei, 1999.

Hatta, H. Moh., Kebijakan Politik Kriminal, Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Rahmat Zainuddin, A, Kekuasaan dan Negara, Pemikiran Politik Ibnu Khaldun. Jakarta: Gramedia, 1992.

G. Sujayanto, “Kedamaian Tak kunjung Datang Di Timor-Timur”, dalam, Intisari, Mei 1999. Jakarta: Gramedia, 1999. 
Frans Ceunfin (Ed.), Hak-Hak Asasi Manusia, Pendasaran Dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik Jilid I. Maumere: Ledalero, 2004. 

3. MAJALAH
“Vinceremos” Rakyat Maubere,  Tempo, Edisi 12 September 1999.

4. BAHAN INTERNET
Agil Asshofie, “Kekerasan, Politik dan Agama”, (Online), (http://agil asshofie.blogspot.com/2010/07/kekerasan-politik-agama_02.html, diakses tanggal 17 September 2011).

Referendum, (Online), (id.wikipedia.org/wiki/referendum, diakses tanggal 15 Oktober 2011).
“Timor Loro Sae Apa Yang Harus Dilakukan?” (Online) dalam (http://groups.yahoo.com/group/timoroan/post?act=replay&messageNum+303, diakses tanggal 15 Oktober 2011).

Tempo Interaktif, (Online), ”Maubere Sudah Merdeka Tetapi Badai Belum Mereda”, (Online), dalam (http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/09/06/LU/mbm.19990906.LU9662.id.html, diakses 4 November 2011).
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar