Selasa, 02 Juli 2013

Pra-Skripsi




KONSEP FILOSOFIS KARL JASPERS TENTANG YANG TRANSENDEN SEBAGAI ASAL DAN TUJUAN EKSISTENSI MANUSIA DAN RELEVANSINYA BAGI IMAN KRISTEN

 BAB I
 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
 Apa dan siapakah manusia? Dan dari mana manusia berasal? Inilah pertanyaan-pertanyaan fundamental yang selalu mengganggu pikiran manusia dari abad ke abad. Usaha untuk menjawabi pertanyaan-pertanyaan ini merupakan  pangkal bagi lahirnya mitologi, berbagai macam aliran filsafat dan agama. Dari mana manusia berasal? Bagaimana kita diciptakan? Manusia menjadi teka-teki antara Tuhan dan hewan, menjadi sasaran segala dongeng dan penyelidikan. Pencarian akan makna terdalam dari seorang manusia masih tetap misteri ketika manusia dipandang sebagai makluk yang unik dan bereksistensi. Manusia dapat melampaui dirinya dan terarah pada sesuatu yang lain.
Konsep teologi tentang manusia merupakan makluk ciptaan Allah yang berdimensi sakral karena diciptakan langsung oleh Allah. Sementara filsafat berusaha menyelidiki secara rasional untuk menjawabi teka-teki tentang eksistensi manusia. Filsafat pada titik tertentu tidak mampu memberikan jawaban tentang siapakah manusia. Filsafat dan iman masih berada di jalan pencarian untuk mendekati sebuah kebenaran. Jaminan kebenaran itu mengandaikan adanya kebenaran absolut yang menjadi titik kulminasi sebuah pencarian.
Filsafat dan iman pada dasarnya memiliki satu orientasi berpikir yang sama, yakni mencari dan terus mencari suatu kebenaran, yang dalam filsafat Jaspers disebut filsafat abadi (Transenden) dan orang Kristen menyebutnya Allah. Namun apakah Allah yang diimani oleh orang Kristen itu sehakekat dengan filsafat abadi yang adalah supreme dari segala yang lain? Allah yang diimani dan allah para filsuf (baca: kebenaran terakhir) adalah sama, namun penjelasan keduanya dapat menggunakan terminologi yang berbeda, yakni Allah dalam teologi dan kebenaran dalam filsafat. Keduanya analogi dua peziarah yang berjalan dalam arah yang berbeda namun bertemu pada tujuan yang sama. Tujuan itu adalah kebenaran mutlak tujuan ultim sebuah pencarian. Meskipun kedua pendekatan (teologi dan filsafat) mencari kebenaran yang sama namun Karl Jaspers tidak percaya akan Trinitas dan inkarnasi.  Dia hanya percaya bahwa Allah itu ada, yang tidak terpikirkan oleh ratio manusia yang terbatas. Ia juga tidak percaya akan wahyu khusus. Meskipun demikian, dalam bukunya “The Origin And Goal of History” ia mengatakan bahwa Allah adalah asal dan tujuan eksistensi hidup manusia.
Asal dan tujuan yang dimaksud oleh Jaspers mengarah pada suatu tujuan yang abadi yakni kebenaran mutlak. Namun dalam horizon pemikiran manusia yang pada hakekatnya adalah makluk terbatas tidak mungkin mencapai kebenaran itu secara tuntas. Kebenaran mutlak dalam kajian ini adalah Allah. Allah tidak dapat dimengerti secara tuntas oleh ratio manusia, tetapi Allah dimengerti dalam pengalaman transendental selaku keterbukaan untuk realitas seluruhnya. Maka refleksi atas keseluruhan realitas itu manusia dapat menemukan Allah sebagai totalitas keberadaan yang subsisten dan nyata.  Karena Allah itu nyata dalam seluruh realitas hidup manusia, maka Allah bagian dari refleksi manusia untuk mengetahui asal dan tujuan hidupnya. Dalam keyakinan iman Kristen asal dan tujuan hidup satu-satunya adalah Allah yang menginkarnasikan diri dalam rupa manusia dan hidup seperti manusia adanya. Hal ini terwujud dalam diri Yesus Kristus yang terungkap dalam sabda¬-Nya: “Yang kamu sebut Allah, Aku sebut Bapa” (Yoh 8: 54).
Refleksi tentang asal dan tujuan hidup manusia selalu terarah pada Allah. Karl Jaspers menyebut Allah Filsafat Abadi. Filsafat Abadi menjadi tujuan pergumulan filsafat dan iman pada masa sekarang. Manusia dalam seluruh pencariannya kadang terjebak dengan berbagai macam aliran dan konsep. Penulis dalam paper ilmiah ini mencoba untuk mendalami pemikiran Karl Jaspers tentang Yang Transenden. Yang Transenden ini merupakan tujuan peziarahan filsafat dan iman Kristen. Allah merupakan asal dan tujuan eksistensi hidup manusia.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis dalam karya ilmiah ini ingin mendalami pemikiran Karl Jaspers tentang Yang Transenden dan menghubungkannya ke dalam iman Kristen di bawah tema:
“KONSEP FILOSOFIS KARL JASPERS TENTANG YANG TRANSENDEN SEBAGAI ASAL DAN TUJUAN EKSISTENSI HIDUP MANUSIA”.

1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah:
Pertama, Untuk mendalami pemikiran Karl Jaspers tentang asal dan tujuam hidup manusia dan berusaha untuk melihat dalam tataran rasional apakah pemikiran sang filsuf ini memiliki relevansi terhadap ajaran dan isi iman Kristen tentang keterarahan (teleologis) manusia kepada sang Absolut.
Kedua: Penulis mengajak semua orang untuk mengimani Allah sebagai asal dan tujuan hidupnya.
Ketiga: Karya ilmiah ini juga bertujuan untuk memenuhi tuntutan sekolah dalam penulisan SKRIPSI di SEKOLAH TINGGI FILSAFAT KATOLIK LEDALERO pada semester mendatang.

1.3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembahasan ini adalah studi kepustakaan. Penulis meneliti karya-karya asli Karl Jaspers yang berhubungan dengan tema. Penulis juga membaca beberapa literatur dari para filsuf dan teolog yang memiliki kemiripan ide dengan Karl Jaspers. Selain itu penulis juga mengutip beberapa dokumen Gereja yang yang membahas secara detail tentang manusia dan Allah.

      1.4. Sistematika Penulisan
Agar karya ilmiah ini terarah dan mencapai tujuan yang diinginkan, maka penulis menyajikan langkah-langkah penbahasan sebagai berikut:
Bab I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II: MENGENAL KARL JASPERS DAN TITIK PANGKAL FILSAFATNYA
Dalam bab ini akan dibahas: Riwayat Hidup, Karya-karya, Titik pangkal Filsafat Jaspers: Eksistensi dan Transendensi
Bab III: KONSEP KARL JASPERS TENTANG MANUSIA DAN YANG     TRANSENDEN
Dalam bab ini akan dibahas: Konsep tentang Asal dan Tujuan Manusia, Manusia dan Situasi Batas: Dasein, Eksistensi dan Situasi Batas (Ultimate Situations), Allah Filsafat Abadi: Sebuah Kepercayaan Filosofis dan Transzendenz
Bab IV: KESAMAAN PANDANGAN: KARL JASPERS DAN IMAN KRISTEN Dalam bab ini akan dibahas:
Allah Pengada Yang Transenden sekaligus Imanen, Keterarahan Manusia Pada Yang Transenden dan Allah Titik Kulminasi Pencarian Manusia.
Bab V: PENUTUP
Catatan Kritis; Chiffer-Chiffer, Dasein, existenz, Kesimpulan, Relevansi, Kritik dan Usul-Saran.














BAB II
MENGENAL KARL JASPERS DAN TITIK PANGKAL   FILSAFATNYA

2.1. BIOGRAFI
Karl Theodor Jaspers lahir di Oldenburg, Jerman Utara, pada 23 Februari 1883,  sebagai anak sulung dari Karl Wilhem Jaspers dan Henriette Tantzen. Ayahnya seorang ahli hukum. Suasana religius di dalam keluarga Jaspers adalah Protestan Liberal. Jaspers bersekolah di Gimnasium Oldenburg dari tahun 1892 sampai tahun 1902. Ia berhenti sekolah di Gimnasium karena ia dipaksa untuk mengikuti organisasi-organisasi siswa dengan struktur-struktur yang hirarkis. Jaspers tidak menerima itu dan cukup hidup sendirian. Alasan lain mengapa ia tidak ikut dlam kegiatan-kegiatan sosial adalah kesehatannya. Seumur hidup ia menderita penyakit paru-paru dankelemahan jantung.
Pada akhir hidupnya Jaspers sendiri heran bahwa mencapai umur begitu tua. Kontak sosialnya yang kurang itu diimbanginya dengan interest untuk ilmu pengetahuan, sastra, seni dan cinta kepada alam. Akibat penyakit yang dilaminya Jaspers terpaksa hidup teratur dan keteraturan itu menjadi suatu blessing in disguise yaitu dasar untuk suatu produktivitas yang luar biasa. Jaspers kemudian belajar hukum di Heidelberg dan Munchen, tetapi hanya tiga semester, sesudah itu ia merasa lebih tertarik kepada kedokteran. Studi ini dijalaninya di Berlin, Gottingen dan akhirnya di Hiedelberg lagi. Studinya selesai selesai pada pada tahun 1908. Setahun kemudian Jaspers mempertahankan tesis doktornya yang berjudul “Heimweh und Verbrechen” (Kerinduan dan Kejahatan). Jaspers bekerja sebagai asisten dalam klinik psikiatri di Hiedelberg dari tahun 1909 sampai tahun 1915.
Ia menikah pada tahun 1910 dengan seorang puteri Yahudi bernama Gertrud Mayer, kakak temannya Ernesrt Mayer. Ernest Mayer seorang dokter dan kemudian juga terkenal sebgai filsuf. Melalui prakteknya sebagai psikiater, Jaspers makin tertarik kepada masalah-masalah psikologis dan filosofis. Akhirnya ia diangkat menjdai dosen psikologi di Universitas Heidelberg. Tugasnya sebagai psikiater mula-mula masih diteruskannya. Pada tahun 1921 Jaspers menjadi guru besar filsafat di Hiedelberg. Pada periode ini Jaspers menjadi teman seorang tokoh filsafat eksistensi di Jerman yaitu Martin Hiedegger (1889-1976). Persahabatna mereka berakhir ketika kaum Nazi merebut kekuasaan politik karena Jaspers melawan Nazisme dan Hidergger mendukung Hitler. Suatu hal yang kemudian disesali oleh Hiedegger.
Pada tahun 1937 Jaspers dipecat oleh kaum Nazi dan setahun kemudian ia juga dikenai larangan publikasi. Periode perang dunia kedua merupakan suatu periode yang amat sulit bagi Jaspers dan isterinya. Beberapa kali ia mencoba mencari kerja di beberapa universitas di luar negeri. Banyak undangan yang diterimanya, tetapi isterinya tidak boleh meninggalkan Jerman. Pada akhir perang diputuskan bahwa Jaspers dan isterinya akan dibawa ke kamp konsentrasi yakni  tanggal 14 April 1945. Namun dua minggu sebelum tanggal itu Hiedelberg dibebaskan oleh tentara Amerika.
Sebelum perang dunia Jaspers sudah terkenal, tetapi sesudah perang mulailah masa keemasannya. Ia diangkat kembali menjadi guru besar dan senator universitas dan semua karangan yang dipersiapkan antara tahun 1938 dan tahun 1945 mulai diterbitkan. Namun suasana politik di Jerman tetap sulit baginya. Tahun 1948 ia menerima undangan untuk pindah ke Universitas Basel di Swiss. Beberapa tahun kemudian ia menjadi warga negara Swiss.
Jaspers mencapai umur 86 tahun. Ia mengutip suatu peribahasa Cina “supaya manusia mencapai umur yang panjang, ia harus menderita suatu penyakit” Jaspers akhirnya meninggal dunia di Basel pada tanggal 26 Februari 1969.

2.2. KARYA-KARYA DAN TOKOH YANG MEMPENGARUHINYA
Jaspers menulis puluhan buku dan ratusan artikel serta resensi. Namun dalam karya ilmiah ini penuis hanya menampilkan beberapa buku dan artikel yang berkaitan dengan tema-tema filosofis. Dalam periode antara tahun 1909 dan tahun 1931 fokus perhatian Jaspers masih berkisar pada psikiatri dan psikologi. Kedua tulisan yang terpenting dalam periode ini adalah Algemeine Psychopathologie (Psikopatologi Umum) dan Psychologie der Weltanschauungen (Psikologi Pandangan-Pandangan Dunia) dalam karya ini Jaspers menjelaskan secara rinci tentang penyakit jiwa.  Pada tahun 1932 terbit karyanya tentang filsafat eksistensi yang diuraikan secara panjang lebar dalam Philosophie. Karya ini terdiri dari tiga jilid. Jilid pertama, Philosophische Weltorientierung (Orientasi Filosofis Dalam Dunia). jaspers menjelaskan bahwa orientasi dunia terjadi di dalam dunia di dakam ilmu pengehuan positif. Pengusahaan ilmu pengetahuan positif merupakan syarat yang diperlukan untuk mengusahakan filsafat. , jilid kedua, Existenzerhellung (Pencerahan Eksistensi). Dalam karya ini Jaspers menjelaskan pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan. Pertama-tama apakah bereksistensi itu? bereksistensi ialah mewujudkan diri sendiri di dunia dan dengan jalan itu sekaligus mengatasi dunia.   dan jilid ketiga Metaphysik (Metafisika). Di sini ia menjelaskan bahwa eksistensi manusia keluar dari dirinya dan menuju sesuatu yang lain yakin mengatasi sesuatu yang tidak dapat dipikirkan.  Philosphie menurutnya karya yang terpenting.
Vernunft und Existenz (Rasio dan Eksistensi) 1935. Buku ini berbicara tentang eksistensi mengandaikan ratio. Existenzphilosophie (Filsafat Eksistensi) 1938, merupakan dua publikasi terdahulu dari karya besarnya Von der Wahrheit (Mengenai Kebenaran) 1948. Mengenai kebenaran diterbitkan sebagai bagian pertama dari Philosophische Logik (Logika Filosofis). Karangan ini berisi analisa dimensi-dimensi kebenaran. Jaspers menamai analisa ini “Periechontologie” ajaran mengenai transendensi “Yang Melingkupi” kita.
Jaspers juga menulis sejarah filsafat seluruh dunia, namun tulisan ini hanya selesai separuh. Sebagai pengantar “Sejarah Filsafat Dunia” diterbitkan suatu filsafat sejarah yaitu Von Ursprung und Ziel der Geschichte (Asal dan Tujuan Sejarah) pada tahun 1949.
Dalam buku Die Grossen Philosphen, Band I, (Filsuf-filsuf Besar, jilid I) 1957, dibicarakannya Anaximander, Heraklitos, Parmenides, Plotinos, Anselmus, Spniza, Laotse, Plato, Agustinus, Kant, Sokrates, Konfusius, Budha dan Yesus. Dalam buku Der Philosophie Glaube (Kepercayaan Filosofis) 1948 dalam buku ini ia menjelaskan Allah sebagai filsafat Abadi yakni sebuah pencarian yang terus-menerus, dalam buku ini juga ia menawarkan sebuah alternatif bahwa kepercayaan akan Allah menjadi titik pangkal dialog antara agama-agama. Tema ini dibicarakan lebih luas dalam buku Der Philospohische Glaube Angesichts der offenbarung (Kepercayaan Filosofis di hadapan wahyu) 1962.
Dua otobiografi diterbitkan dengan judul Philosophische Autobiographie
(Otobiografi Filosofis) 1960, dan Schicksal und Wille (Nasib dan Kehendak) 1967. Jaspers juga menulis beberapa artikel tentang situasi politik yang masih tetap aktual, yakni, Die Atombombe und die Zukunft des Menschen. Politisches Bewusstsein in Unserrer Zeit (Bom Atom dan Masa Depan Manusia. Kesadaran Politik dalam Zaman Kita) 1958. dalam karangan ini manusia diajak untuk percaya kembali kepada rasio, kebebasan dan tanggung jawabnya. Jaspers meramalkan bahwa dunia menghadapi suatu bencana nuklir kalau manusia kehilangan kepercayaan itu.
Pemikiran filsafat Jaspers berakar kuat pada Kierkegaard, namun banyak juga dipengaruhi oleh para filsuf lain, seperti Plotinos, Spinoza, Kant, Schelling, dan Nietzsche. Jika dibandingkan dengan para filsuf eksistensialisme lain, Jaspers adalah filsuf yang pemikirannya memperlihatkan suatu sistem yang rapi.

2.3. TITIK PANGKAL FILSAFAT JASPERS
2.3.1. Eksistensi
Bereksistensi merupakan satu kekhasan manusia. Ia keluar mencari sesuatu yang lain. Namun dalam pencariannya akan sesuatu yang lain itu, ia senantiasa dilingkupi oleh situasi-situasi batas kemanusiaannya. Maka eksistensi manusia adalah kenyataan bahwa manusia itu merupakan bentuk “ada” yang memutuskan dan kemungkinan-kemungkinan untuk terbuka yakni kemajuan dan kemunduran dalam jalan menuju “Ada Abadi” yang oleh Jaspers disebut Tranzsendenz.
 Eksistensi termuat dalam waktu tetapi sekaligus mengatasi waktu, karena menurutnya eksistensi selalu terbuka terhadap segala kemungkinan untuk keluar dari dirinya (transendensi diri) kepada sesuatu yang lain.
Jaspers menjelaskan manusia dalam tataran kebebasan. Manusia dalam kebebasannya mampu mewujudkan diri dan menentukan dirinya sebagai makhluk yang bereksistensi. Menurutnya eksistensi merupakan suatu “keterberian”. Eksistensi adalah hadiah dari transendensi kepada manusia.

2.3.2. Transendensi
Transendensi merupakan salah satu titik pangkal filosofis Karl Jaspers. Ia menjelaskan transendensi berhubungan dengan Allah. Namun dalam seluruh pemikirannya tentang transenden ia tidak mengakui kemampuan manusia untuk mengungkapkan realitas Allah sebagai ada yang tak terpikirkan, karena menurutnya transendensi merupakan sifat hakiki dari yang mutlak, baik dalam aspeknya sebagai yang tidak dibawahi oleh kondisi-kondisi eksistensi dari yang terbatas, dalam arti sebagai sesuatu yang melampaui batas-batas pengetahuan manusia.
Dalam penjelasan lebih lanjut Jaspers mengatakan bahwa Allah adalah suatu chiffer (sandi) untuk kenyataan yang tidak ternamai. Tak ternamai karena Yang Transenden bukanlah pribadi melainkan sebuah kenyataan ilahi. Semua nama tentang Yang Transenden merupakan chiffer-chiffer (sandi-sandi). Manusia tidak mengenal keilahian tetapi melalui kebebasannya ia berhubungan dengan-Nya. Oleh karena itu transendensi cukup diketahui bahwa ia ada.
Jaspers tidak menyebut Transzendenz itu sebagai Allah karena menurutnya Allah merupakan sesuatu yang tak terpikirkan karena pada hakekatnya manusia merupakan ada yang terbatas yang senantiasa dilingkupi oleh ruang keterbatasan. Oleh karena itu Allah hanya boleh disebut Chiffer.  Penamaan Allah bagi Yang Transenden hanyalah rambu-rambu bagi Yang Transenden. Namun pada tataran tertentu Jaspers menyebut Yang Transenden itu adalah Allah.

BAB III
KONSEP JASPERS: MANUSIA DAN YANG TRANSENDEN

3.1. KONSEP ASAL DAN TUJUAN MANUSIA
Segala sesuatu ada karena diadakan. Namun Ada yang mengadakan ini tetap menjadi problema filosofis dalam seluruh pergumulan rasionalitas manusia. Dalam karya The Origin and Goal of History Jaspers menjelaskan secara kronologis sejarah manusia, namun ia tidak mampu menampilkan data empiris tentang kapan adanya manusia. Dalam situasi keterbatasan ia membangun argumentasi metafisik dengan mengafirmasi Allah sebagai asal dan tujuan hidup manusia.

My outline is based on an article of faith: that mankind has one single origin and one goal. Origin and goal are unknown to us, utterly unknown by any kind of knowledge, they can only be felt in the glimmer of ambiguous symbols, our actual existence moves between these two poles; in philosophical reflection we may Endeavour to draw closer to both origin and goal. All men are related in Adam, originate from the hand of God and are created after His image.


Kata Asal dijelaskan secara filosofis yang berarti “sesuatu yang sangat sederhana tetapi tidak dapat dibayangkan dan tidak dapat dipahami sedangkan kata Tujuan berarti sesuatu yang tidak dapat diformulasikan dalam imajinasi yang nyata. Kedua kata ini saling mengandaikan. Karena jika saya memikirkan yang satu maka saya memikirkan yang lain pula”.  Seluruh pengetahuan yang ada tidak mampu memberikan jawaban tentang asal dan tujuan eksistensi hidup manusia. Manusia tetaplah makluk hidup yang unik dan penuh misteri, karena itu manusia juga disebut makluk multidimensional.  Manusia bersifat jasmani termasuk dalam bilangan makluk hidup dan bersifat rohaniah; ia berpikir, berefleksi dan makluk yang mampu bertanya dan mempersoalkan segala sesuatu.
Di sini Karl Jaspers mencoba memberikan jawaban yang berlandaskan iman Kristiani dengan mencoba menyebut otoritas Yang Transenden sebagai pengasal dan muara hidup manusia. Ia mengatakan bahwa “The Goadhead is origin and goal, it is peace of mind. There is security”.  Hal ini telah dipertegas olehnya dalam karya terkenalnya “Philosophie”.

The idea of a correct world order as  infinite challenge. The sort of thinking is true, but always in relation to limited mundane phenomena, not in relation to the world at large. As a possible object or a possible goal, the world at large nonexistent (…) the ultimate criteria of its truth are not found in success or failure but in facing its transcendence as intrinsic being.


Pembicaraan tentang asal dan tujuan hidup manusia tetap menjadi sebuah paradoks antara iman dan filsafat. Filsafat dalam seluruh pergumulannya masih mempertanyakan asal dan tujuan hidup manusia sedangkan dalam ajaran iman Kristiani Allah menjadi otoritas mutlak tujuan peziarahan hidup manusia.

3.2. MANUSIA DAN “SITUASI BATAS”
3.2.1. Dasein
Dasein (being there atau ada di sana) merupakan kenyataan saya sendiri dan segala sesuatu yang ada bagi saya: kehadiran yang mempunyai permulaan awal dan akhir. Dasein memuat keinginan untuk mengatasi dirinya sendiri untuk terarah ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi yakni, manusia yang empiris ini mampu mengenal suatu dunia tertentu di dalam dunia kenyataan yang melingkupi kita.   Manusia didorong oleh keinginannya untuk keluar dari dirinya kepada sesuatu yang lain. Ia selalu lebih dari pada apa yang ia ketahui tentang dirinya. Ia bukanlah keadaan sekarang untuk selama-lamanya, melainkan jalan; tidak hanya merupakan Dasein yang harus ditetapkan sebagai keberlangsungan hidupnya, melainkan kemungkinan melalui kebebasan, berkatnya ia mampu menentukan dirinya akan menjadi apa dirinya nanti melalui tindakan nyata yang diambilnya.
Manusia tidak merasa puas tinggal sebagai Dasein, sebab hal itu berarti hidupnya ditentukan oleh kondisi-kondisi di luar dirinya. Ia mau terus-menerus kembali pada atau mewujudkan lagi eksistensinya guna mencapai kepenuhan dirinya. Maka dari itu diperlukan benturan-benturan yang mampu membangunnya dan sekaligus sebagai situasi batas (ultimate situation). Situasi batas ini bukanlah hambatan, namun darinya manusia mampu mewujudkan dirinya sebagai makluk yang bereksistensi.

3.2.2. Existenz
Dalam eksistensialisme Karl Jaspers, ia mencoba memberikan dua term tentang jiwa dan Allah yakni eksistensi dan transendensi. Eksistensi manusia merupakan bentuk “ada” yang memutuskan dalam waktu apakah dan bagaimanakah ia mau menjadi abadi. Adanya manusia termasuk dunia empiris oleh Jaspers disebut bidang Dasein (bahasa inggris: being-there). Namun “eksistensi” (existenz) itu berupa kemajuan atau kemunduran dalam jalan menuju “ada” abadi. Eksistensi termuat dalam waktu tetapi sekaligus mengatasi waktu, karena keputusan-keputusan bebas eksistensi menentukan sesuatu untuk selama-lamanya.
Manusia makhluk rasional sekaligus paradoksal. Perumusan paradoksal sering muncul dalam refleksi manusia atas dirinya. Paradoks mengandung dua kebenaran yang bertentangan. Paradoks berhubungan dengan kekhasan kedudukan manusia di dunia ini namun sekaligus bertransendensi terhadapnya.
Manusia bebas dan terikat, otonom dan tergantung, terbatas dan tidak terbatas, dunia dan ilahi, fana dan baka.Yang dimaksud dengan paradoksal di sini berarti manusia merupakan makhluk multidimensional di mana dimensi yang satu bertentangan dengan dimensi yang lain. Karena makluk paradoksal maka pertanyaan tentang siapakah manusia merupakan sebuah pergumulan dalam proses berpikir seorang manusia. Selain manusia sebagai makluk paradoksal, manusia juga merupakan ada yang terbatas (Ens finitum) ketika ia berhadapan dengan Ada Yang Tak Terbatas (Ens Infinitum) .

3.2.3. Situasi Batas (Ultimate Situation)
Jasprs berpendapat bahwa ada empat situasi batas yang terus menantang manusia untuk mewujudkan dirinya. Ia menyebut tantangan itu sebagai “situasi-situasi batas” (Grenzsituationem, dalam terjemahan Inggris dipakai istilah: Ultimate situations). Situasi-situasi batas ini adalah situasi dasar (Grundsituationem), yang tidak bisa kita lampaui, tidak bisa kita ubah. Perasaan heran dan perasaan ragu menjadi dasar akan situasi-situasi  batas ini adalah awal mendalam dari filsafat.
Keempat situasi batas itu adalah: kematian (Tod), penderitaan (Leiden), perjuangan (Kampf), dan kesalahan (Schuld).

Kematian: ...kematian menurut Jaspers membuka kesempatan bagi manusia untuk (1) menemukan eksistensinya sebab dalam kematian manusia sadar bahwa dirinya unik, kematian saya adalah kematianku tidak mirip dengan kematian orang lain (...) (2) lalu karena manusia berhadapan dengan kematian merasakan keterbatasan dan ketidakberdayaannya, maka baginya terbukalah kesempatan lain untuk melihat adanya sesuatu yang mengatasi dirinya, yakni adanya transendensi. Penderitaan: semua bentuk penderitaan bersifat destruktif dan konstruktif bagi Dasein. Destuktif sebab ia merusak dan menggerogoti Dasein sedikit demi sedikit. Namun demikian penderitaan bisa menjadi sesuatu yang baik. Yaitu kesempatan bagi eksistensi untuk berkembang. Kalau manusia mempunyai keberanian  dan ketabahan hati menerima dan menanggung penderitaan, maka ia bertumbuh melaluinya. Perjuangan: Dibedakan dua tingkat perjuangan (1) perjuangan pada tingkat Dasein: perjuangan semua makluk yang tak disadari (Stuggle of life, umum) dan perjuangan pada tingkat yang disadari,. Misalnya perjuangan ekonomi, perjuangan dalam perang dan kekerasan (2) perjuangan pada tingkat eksistensi termuat dalam perjuangan ide-ide. Di sini perjuangan berjalan halus tanpa paksaan dan kekerasan. Di sini yang dicari adalah kebenaran bukan menang-kalah, lawan pun bukan hanya orang lain melainkan juga diri sendiri. Sebab diri dan pandanganku harus dimiliki (...) Jaspers menamai perjuangan macam ini “Liebender kampf”, perjuangan berdasarkan kasih. Kesalahan: perjuangan membawa akibatnya-akibatnya. Kesalahan adalah akibat resiko dari sebuah perjuangan.

Pada kenyataanya manusia dihadapkan pada banyak persoalan hidup. Persolan-persoalan itu sekaligus menjadi benturan dan pengafirmasian akan keberadaan manusia sebagai makluk terbatas. Menurut Jaspers Dasein empiris yakni kondisi atau lingkungan di mana ia hidup, bergerak dan ada (sejarah, alam, budaya dan masyarakat) setiap orang adalah tugas bagi dirinya sendiri yang mesti diselesaikannya sendiri dengan pelaksanaan kebebasannya. Ungkapan Jaspers untuk hal ini adalah eksistensi (Ekzistenz).

3.3. TRANSZENDENZ
Diakhir refleksi filosofisnya yang panjang Jaspers mengakui bahwa transendernsi itu sebagai Allah. Manusia selalu dilingkupi oleh sesuatu yang tak terpikirkan atau transendens. Di hadapan transendens, eksistensi dibatasi oleh situasi-situasi batasnya, karena itulah yang tak terpikirkan itu disebut Allah.
Eksistensi manusia di satu pihak dibatasi oleh dunia dan di lain pihak oleh Tranzsendenz. Tranzsendenz adalah das Umgreifende alles Umgreifenden,  “Yang Melingkupi segala sesuatu Yang Melingkupi”. Untuk pemikiran manusia nama yang paling tepat untuk transendensi itu adalah “Ada” (das Sein). Sejauh manusia hidup bersama transendensi nama paling tepat adalah “Kenyataan Asli”. Kalau kenyataan itu digambarkan sebagai kekuatan yang menuntut dari manusia sebagai kenyataan yang berbicara kepada manusia, dan yang memberikan perintah-perintah, maka nama yang paling tepat adalah keilahian.
Kepercayaan dari Kitab Suci akan Allah Yang Maha Esa yang unik dan eksklusif menghasilkan orang yang kepribadian kuat dan otonom dan sebaliknya, makin kabur anggapan mengenai yang Ilahi, makin kabur juga identitas manusia sendiri. Transendensi ialah sumber segala kepribadian, kepribadian merupakan konsep yang memaksakan transendensi ke dalam suatu kerangka tertentu, dan itu tidak boleh. “Yang Melingkupi segala sesuatu Yang Melingkupi” tidak dapat dimuat dalam konsep apa pun. Karena pada hakekatnya manusia berada pada ruang lingkup yang terbatas dan dilingkupi oleh batas-batas kemanusiaannya.
Menurut Jaspers manusia berusaha untuk mengerti akan  Yang Transenden, tetapi kita tetap berada dalam pengertian posisi horison. Manusia mempunyai pengertian yang terbatas tentang-Nya. Kita berhadapan dengan sebuah horison yang sangat luas sampai pada yang abadi atau “Yang Melingkupi”, di dalamnya kita menemukan kepastian dan kebenaran yang merupakan tujuan akhir pencarian manusia, karena itu filsafat tidak dapat mengungkapkan pengetahuan secara lengkap dan tuntas.
Dengan demikian kebenaran absolut hanya terdapat pada Yang Transenden. Yang Transenden ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, Ia melingkupi kita dan senantiasa menjadi sebuah misteri. Yang Transenden dilihat sebagai pengasal dan akhir dari sebuah pencarian akan kebenaran sejati.  Manusia senantiasa rindu akan tujuan hidupnya. Dalam kerinduan itu manusia ingin mencari sesuatu di luar dirinya untuk dijadikan sebagai jaminan keselamatan.

3.4. ALLAH FILSAFAT ABADI: KEPERCAYAAN FILOSOFIS
Dalam pemikiran filosofis Jaspers Allah dilihat sebagai Filsafat abadi. Menurutnya pencarian akan kebenaran  merupakan pencarian yang kontinuitas yakni sepanjang zaman. Pencarian ini merupakan usaha bersama dengan orang lain, dalam dialog dengan sejarah filsafat dunia. Pemikir dan sastrawan Aldous Huxley (1894-1963) berpendapat bahwa Allah hanya dapat disadari dalam kontemplasi. Kalau manusia ingin berbicara tentang isi filsafat abadi, bahasa manusia tidak mampu mengungkapkan secara tuntas kebenaran abadi. Oleh karena itu tidak ditemukan uraian-uraian sistematis tentang filsafat abadi. Menurut Huxley ada empat prinsip yang merupakan inti filsafat abadi.

Prinsip pertama, dunia fenomenal merupakan manifestasi (penampakan)  dasar ilahi dunia. Segala sesuatu yang diamati oleh manusia mengambil bagian dalam kenyataan yang lebih tinggi dari pada kenyataan fenomenal. Prinsip kedua,  manusia dapat mengetahui sesuatu tentang dasar Ilahi melalui pikiran biasa, tetapi lebih-lebih melalui intuisi. Prinsip ketiga, mengajarkan bahwa manusia mempunyai kodrat sebagai “aku”, tetapi juga sebagai “diri” abadi. “Aku” termasuk dunia fenomenal. “Diri abadi” merupakan bunga api ilahi dalam jiwa. Prinsip keempat, mengajarkan bahwa tujuan manusia adalah: menjadi satu dengan diri abadinya dan memperoleh pengetahuan intuitif tentang dasar ilahi.

Tujuan abadi filsafat adalah kepercayaan bahwa manusia melebihi yang diketahui tentang dia dalam ilmu-ilmu. Ada kepercayaan bahwa dunia ini tidak merupakan kenyataan terakhir, kepercayaan, ada “eksistensi” dan “transendensi”. Manusia harus menghayati kepercayaan ini melalui tindakan batinnya dan senantiasa mengarahkan diri pada asal dan tujuan hidupnya yakni Allah.   Transendensi tidak dapat ditangkap dan tidak dapat menjadi obyek. Oleh karena itu, pemikiran mengenai transendensi selalu berstatus kepercayaan. Pencarian akan kebenaran merupakan “agama” bagi Jaspers. Kepercayaan filosofis menjadi dasar tindakannya, sumber kepastian mengenai yang hakiki dan mutlak. Kepercayaan filosofis Karl Jaspers merupakan kebenaran tentang yang mutlak. Kebenaran yang mutlak ini tidak didekati dengan pengandaian-pengandaian dan ilusi.
Apakah transendensi (Transzendenz) itu Allah? Ada dua cara untuk menjawabi pertanyaan ini yakni: Secara  negatif. Transendensi tidak sama dengan Allah. Sebab kata Jaspers kata “Allah” suatu ungkapan atau tanda rahasia, ia menyebutnya chiffer untuk kenyataan ilahi yang tak ternamai. Orang Kristen mempercayai Allah sebagai kenyataan ilahi yang bersifat pribadi atau persona. Namun menurut Jaspers kenyataan ilahi itu lebih daripada persona. Kenyataan ilahi itu terlalu tinggi untuk diberi nama dan dirangkum dalam konsep-konsep.
Semua nama atau paham yang diberikan orang untuk kenyataan ilahi itu (Deus, Tao, Roh Absolut, Nai Maromak)  hanyalah chiffer-chiffer, tanda atau ungkapan terbatas untuk keilahian yang tidak terbatas. Manusia tidak mengenal keilahian namun melalui kebebasannya ia berhubungan dengan-Nya. Secara positif, seperti yang sudah dikatakan oleh Agustinus, jika kita bisa menyebut Allah sebagai “Yang tidak terkatakan” maka Allah yang kita pahami sedemikian itu sebenarnya sudah bukan “Yang tidak terkatakan” lagi. Oleh karena itu selain mencirikan Allah secara negatif (dalam arti logis: Allah sebagai “Yang tidak terkatakan”), Jaspers memberi nama positif pada Allah juga, yakni: Allah sebagai “Yang melingkupi segala sesuatu yang melingkupi, dalam bahasa religius Transendensi dalam arti ini adalah Allah.
Dengan demikian Transendensi merupakan Allah. Namun sebagai manusia yang pada hakekatnya adalah makluk terbatas kita tidak mengenal seluruh rahasia Allah. Kita hanya dapat mengimani namun tidak dapat mengerti secara pasti siapkah Allah yang transenden itu? Itulah sebabnya kita disebut pencari kebenaran bukan pemilik kebenaran. Manusia dapat memikirkan bahwa yang tidak dapat dipikirkan itu ada (Es ist denkbar dass es gibt, was nich denkbar ist).  Yang Ada ini dapat diimani sebagai asal dan tujuan eksistensi hidup manusia.
















BAB IV
KESAMAAN PANDANGAN: KARL JASPERS DAN IMAN KRISTEN

4.1. ALLAH: PENGADA YANG TRANSENDEN SEKALIGUS IMANEN
Dalam iman Kristen Allah merupakan pencipta segala sesuatu. Allah merupakan realitas tertinggi yang transenden sekaligus imanen. Ketika Allah  menciptakan manusia Allah yang transenden itu menjadi imanen. Imanen karena dalam diri manusia terkandung unsur keilahian Allah (manusia diciptakan seturut citra Allah). Manusia mampu bertransendensi diri. Berdasarkan teori kreasionisme dalam Kitab Genesis Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupanya berarti Allah Yang Transenden itu bagian dari realitas hidup manusia. Allah ada dalam realitas.

Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak  dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang yang melata yang melata di muka bumi. Alllah melihat bahwa semuanya itu baik. Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia. (Kej 1:26-27)  

                                                                                                                                                                                                                                             
Allah yang transenden merupakan asal dan tujuan eksistensi manusia. Kepada-Nya manusia terarah. Manusia yakin bahwa ada otoritas lain yang mesti menjamin hidupnya karena pada hakekatnya manusia merupakan makluk ciptaan yang terbatas. Namun apakah Allah yang Transenden itu dapat dijelaskan oleh akal budi manusia yang terbatas? Ketika manusia berhadapan dengan pertanyaan gugatan sekaligus tantangan ini, Thomas Aquinas mengafirmasi kebenaran Biblis bahwa Allah itu merupakan pengada segala sesuatu. Karena Allah itu pengada mutlak maka Thomas Aquinas menyebutNya sebagai Yang Tak Terbatas.  Allah yang tak terbatas dan realitas tertinggi ini merupakan transenden sekaligus imanen maka Allah dapat pikirkan dan dapat dipahami. Anselmus dari Canterbury mencoba memberikan refleksi filosofisnya tentang Allah sebagai yang transenden dan imanen. Allah jauh dan tak terpikirkan namun ada dalam realitas supaya manusia dapat percaya dan memahaminya.

Saya bukan untuk mencoba menyelami Keagungan-Mu ya Tuhan, sebab saya sama sekali tidak membandingkan akalku dengan keagungan-Mu itu, tetapi saya ingin sedikit melihat kebenaran-Mu, yang dipercayai dan dicintai oleh hatiku. Dan saya tidak bermaksud untuk memahami agar percaya, tetapi saya percaya agar bisa memahami. Sebab saya percaya juga bahwa saya tak akan mampu memahami, kecuali jika saya percaya (...) tetapi tidak cukup hanya di sini saja, “sebenarnya, jika sesuatu itu tak terdapat dalam akal budi, orang dapat memikirkannya juga bahwa sesuatu tersebut terdapat juga dalam realitas (...) demikianlah, “ada” yang lebih besar dari padanya tak terbayangkan ini sedemikian benar sehingga tak dapat terpikirkan bahwa tidak ada”. (Eksistensi Allah itu sedemikian riil sehingga pengingkarannya pun bahkan tak terpikirkan.


Allah yang transenden ini dapat dipikirkan oleh manusia, karena dapat dipikirkan, maka kita boleh sependapat dengan Karl Jaspers bahwa Allah yang transenden sekaligus melingkupi segala sesuatu itu merupakan tujuan eksistensi manusia. Allah pengada segala sesuatu bukanlah argumen metafisis belaka, namun kita harus kembali kepada eksistensi manusia di mana manusia mampu mengenal Allah karena pada kodratnya manusia memiliki kesadaran transendental. Manusia mampu menangkap realitas ilahi dengan kemampuan inteleknya. Namun manusia harus sadar bahwa kita merupakan makluk terbatas dan bergantung pada pada Yang Mutlak.
Dalam iman Kristiani Allah yang transenden itu merupakan Allah yang men-dunia; artinya Allah bukan lagi sebagai misteri yang tak dapat diselami namun tabir keallahan sedikit terbuka bagi manusia, hal dapat dijelaskan dalam peristiwa inkarnasi. Allah menjelma menjadi manusia. Kepada-Nya manusia tertuju. Dengan tesis seperti ini kita mampu menarik benang merah, bahwa Yang Transenden merupakan kebenaran abadi. Allah adalah asal dan tujuan eksistensi manusia.
Berdasarkan gagasan bahwa Allah sebagai yang transenden sekaligus  imanen ini Jaspers menarik kesimpulan berdasarkan refleksi biblis, ia mengutip Kitab Suci Perjanjian Baru “I am the way, the truth, and the life”.   Ini bukanlah sinisme (karena Jaspers tidak percaya inkarnasi) namun Allah harus diyakini sebagai penjamin hidup manuisa. Dialah Pengasal segala sesuatu yang turut hadir dalam peristiwa hidup manusia. Allah dalam teori kreasionisme digambarkan sebagai Allah yang mahakuasa, dengan Sabda segala sesuatu menjadi ada. Hanya Manusia diciptakan secara unik oleh Allah. Allah berperan aktif dalam menciptakan manusia yang diciptakan secara unik. Manusia diciptakan dari tanah dan Allah memberikan nafas kehidupan kepadanya. Oleh karena itu manusia dilihat sebagai makluk yang memiliki kesadaran transendental untuk mengenal Allah.
Manusia sebagai makluk transendental karena manusia sebagai pribadi yang melampui dirinya dan dan terarah kepada Yang Transenden mutlak. Hal ini dalam istilah Karl Jaspers, Existenz.  Dalam keterarahannya kepada Yang Transenden manusia harus memiliki iman. Iman merupakan kasih yang eksplisit, menyadari dirinya sebagai makluk ber-ada, namun iman dalam tataran filosofis Jaspers disebut kepercayaan yang aktif, Active faith . Kepercayaan akan yang transenden ini bertolak dari refleksi metafisis di mana yang transenden dan yang melingkupi ini merupakan asal dan tujuan eksistensi manusia.

4.2. KETERARAHAN MANUSIA PADA YANG TRANSENDEN
Manusia yang adalah teka-teki dan makluk paradoksal menempati posisi sentral dalam Kitab Suci. Manusia dilihat sebagai citra Allah. Manusia bukan diciptakan dari ketiadaan namun diciptakan dari sesuatu yang sudah ada. Allah terlibat aktif dalam proses jadinya manusia (bukan creatio ex nihilo). Karena Allah terlibat aktif menciptakan manusia maka manusia menjadi makluk yang unik di antara segala makluk. Manusia dilihat sebagai citra Allah karena dalam diri manusia terdapat dimensi transendental. Dengan itu manusia keluar dari dirinya dan terarah kepada sesuatu yang lain (transendensi diri). Transendensi diri merupakan suatu tanda spiritualitas adanya manusia yang memiliki tujuan yakni Yang Absolut atau Allah. Karena itu manusia memiliki makna vertikal dan metafisis.  Karena pada hakekatnya manusia diciptakan langsung oleh Allah.
Allah dalam iman Kristen merupakan Allah yang diyakini sebagai pengada segala sesuatu. Dalam Kitab Suci manusia dilihat sebagai makluk yang unik. Manusia diberi akal budi sehingga ia mampu berpikir dan bertanya. Manusia dalam pergumulan pencariannya ia selalu mengarahkan diri pada yang transenden.
Pertanyaan siapakah manusia belum bisa dijawab dan mungkin tidak akan dijawab secara tuntas dalam kehidupan ini. Dalam situasi keterbatasan ini manusia yakin bahwa di luar dirinya ada sesuatu yang tak terbatas dan melampaui segala sesuatu. Dialah asal dan tujuan hidup manusia. Jadi eksistensi hidup manusia terarah kepada Allah yang transenden dan abadi.

4.3. ALLAH: TITIK KULMINASI PENCARIAN MANUSIA
Manusia dalam pencariannya akan yang transenden senantiasa dilingkupi oleh situasi batasnya. Situasi-situasi batas ini memungkinkan manusia untuk berefleksi secara filosofis-teologis bahwa di luar manusia ada sesuatu yang transenden dan melampaui segala sesuatu. Yang Transenden itu menurut keyakinan umat Kristen sebagai pencipta yang mengadakan segala sesuatu.
Pandangan Kristen tentang asal dan tujuan bukan sebuah tantangan filsafat melainkan dua dunia yang komplementer untuk mencari suatu kebenaran hakiki. Keyakinan pada Allah yang menjelma dalam diri manusia terutama dalam diri Yesus Kristus adalah sebuah kebenaran. Namun dalam konsep filosofis Jaspers agama baginya adalah kepercayaan filsafat abadi yang lebih tua umurnya dari pada semua agama. Menurutnya Transendensi tidak dapat ditangkap dan tidak dapat menjadi obyek. Oleh sebab itu pikiran mengenai transendensi selalu berstatus “kepercayaan”.

Manusia sebagai makluk yang ber-existenz, ia selalu bergantung pada sesuatu yang lain namun di lain pihak manusia juga dituntut untuk bertanggungjawab pada dirinya sendiri sebagai “aku”. Aku selalu berusaha dalam kebebasanku untuk menemukan siapakah aku. Dan aku pun mampu bertanya tentang batas kebergantunganku. Di sini terdapat dua kemungkinan: kemungkinan pertama, kehendak sebagai makluk berada digerakan oleh Allah. Dan di pihak lain kehendakku adalah dari diriku sendiri karena aku merupakan manusia yang bebas. Oleh karena itu diriku bertanggung jawab pada kehendakku, tindakanku dan demi keaslian diriku sebagai makluk berada.

Sebagai makluk yang bereksistensi, ia senantiasa bertanya untuk memahami sebab dari segala realitas. Namun dalam pencariannya itu manusia berhadapan dengan situasi keterbatasan. Dalam situasi ini manusia diharapkan untuk percaya supaya memahami realitas tertinggi itu.
Pandangan Jaspers di atas secara tidak langsung tidak mengakui adanya inkarnasi dan wahyu khusus. Allah yang transenden itu mengatasi pemahaman manusia. Maka Allah tidak mungkin menjadi obyek. Seandainya Allah menjadi obyek di hadapan manusia maka misteri tentang Allah itu tidak mungkin. Oleh karena itu Jaspers menyebut Allah itu sebagai Yang Melingkupi segala sesuatu. Segala sesuatu yang ada dalam dunia riil merupakan chiffer. Manusia disebut chiffer yang paling unggul karena manusia dekat dengan transendensi karena manusia diciptakan menurut umpama Allah.
Maka jelas bahwa Allah merupakan asal dan tujuan eksistensi hidup manusia. Manusia sebagai makluk yang ber-eksistensi selalu terarah pada sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu adalah Allah. Dalam pandangan iman Kristiani tentang asal dan tujuan manusia tidak lain adalah mencari dan mencapai sesuatu yang selama ini diyakini yakni Allah dalam pengalaman hidup manusia. Pemahaman tentang Allah seringkali menimbulkan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan yang tidak dapat dihindari ialah bagaimana mungkin manusia dapat berelasi dengan Allah yang tidak dikenal?
Untuk menjawabi pertanyaan di atas perlu diingat bahwa misteri tidak berarti sesuatu yang tidak diketahui, tetapi dalam sebuah misteri tersirat suatu kebenaran. Namun kebenaran itu senantiasa menjadi sebuah problem yang terus-menerus melahirkan suatu pertanyaan yang tidak dijawab secara tuntas. Pengetahuan akan Allah selalu bersifat sesuatu yang tidak langsung, dan karena itu lebih baik disebut pengalaman. Bukan pengalaman langsung obyektif melainkan pengalaman keterarahan sebagai keterbukaan segala yang ada. Maka kerarahan dan kerinduan itu boleh disebut pengalaman akan misteri Allah. Dalam refleksi atas kerinduan fundamental itu, manusia menyadari bahwa ia mencari otoritas Allah sebagai penjamin hidupnya. Dengan demikian manusia menyakini tujuan keterarahan itu adalah Allah. .
Menurut Gabriel Marcel sebuah pengalaman hidup dianggap sebagai suatu  keinginan untuk terarah kepada yang sempurna satu-satunya. Semua subyek dimungkinkan bereksistensi dalam suatu keakraban maksimal.  Kepercayaan akan cinta kasih Tuhan merupakan fundamen yang paling kuat dari kepercayaan manusia akan kekekalan. Oleh sebab itu bisa dimengerti bahwa mereka yang menghayatinya tidak peduli untuk mencari alasan yang lebih baik.
Jaspers dalam refleksi filosofisnya tentang utopia ia membayangkan sebuah dunia yang sempurna. Khayalan tentang dunia yang sempurna bukanlah sebuah ilusi namun khayalan metafisis.Manusia dalam ruang keterbatasannya ia meyakini bahwa di luar aku yang empiris ini ada ada yang lain. Ada yang lain ini melampaui pikiran dan cara beradaku sebagai makhluk Dasein. Dengan demikian Yang  Transenden atau Allah yang diyakini dalam iman Kristen dan dalam konsep Karl Jaspers merupakan asal dari segala sesuatu. Dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu tertuju. Dialah Awal dan Yang Akhir.










BAB V
PENUTUP

5.1. CATATAN KRITIS
Dalam seluruh rangkaian pemikiran filosofis Karl Jasper tentang Transzendenz dan existenz kita menemukan banyak istilah yang cukup berbahaya dan tendensi melemahkan iman Kristiani. Ada beberapa term filosofis yang menurut penulis cukup berbahaya apabila kita tidak memahami keseluruhan pemikirannya.  Istilah-istilah itu adalah sebagai berikut: Chiffer-chiffer, Dasein, dan existenz. Penulis mencoba memformulasikan secara singkat istilah-istilah ini.

5.1.1. Chiffer-chiffer
pada dasarnya manusia itu merupakan makluk yang terbatas maka, menurutnya manusia tidak mampu menyebut Yang Transenden itu sebagai Allah namun Allah hanyalah rambu-rambu yang diciptakan oleh manusia untuk menyebut Yang Transenden itu lantaran bahasa tidak mampu mengungkapkan apa-apa tentang sesuatu yang melampaui akal budi manusia yang terbatas. Jaspers dalam term chiffer-chiffer ini ia ingin mengajak orang beragama untuk rendah hati menerima keterbatasan bahasa atau ungkapan menyangkut Yang Ilahi (chiffer).
Dalam pandangannya tentang chiffer-chiffer kita boleh mengkritisinya berangkat dari inti iman Kristen. Iman kepercayaan manusia membutuhkan hal-hal yang konkret dalam ruang dan waktu. Transendensi akan kabur apabila ia tidak mempunya bentuk atau sosok yang konkret dalam sejarah. Oleh karena itu perlu ada sosok konkret yang mesti menjadi jaminan sebuah iman bahwa Allah ada. Allah dalam sejarah umat manusia yakni Sabda yang menjadi Manusia dalam diri Yesus dari Nazaret.

5.1.2. Dasein
Karl Jaspers mencoba melihat manusia dalam kerangka ruang dan waktu. Ia membedakan manusia sebagai makluk yang empiris dan yang mampu bereksistensi. Di sini tidak terdapat dualisme namun dalam diri manusia empris ia berkeinginan untuk keluar dari dirinya guna mencari sesuatu yang lain. Inilah yang disebut olehnya Existenz.
Manusia senantiasa mencari Allah dalam seluruh pengalaman hidupnya. Allah adalah titik fokus pencarian karena manusia sadar bahwa dari-Nya ia berasal dan kepada-Nya ia kembali.

5.1.3. Existenz
Dalam penjelasannya tentang existenz, sepertinya ia tidak konsisten. Pada penjelasan awal ia mencoba memisahkan Allah dalam tataran yang lebih tinggi dan tidak dapat diungkapkan dengan bahasa manusia lantaran keterbatasan manusia, toh ia mencapai keputusan bahwa existenz mampu berdiri di hadapan Transzendenz seperti pribadi di hadapan pribadi.
Pemikiran Karl Jaspers dapat berbahaya apabila seseorang tidak membaca pemikirannya secara runtut dan menyeluruh. Dalam pemikirannya tentang kepercayaan filosofis ia mencoba untuk terbuka terhadap segala kemungkinan untuk berdialog dengan agama-agama lain tentang inti iman kepercayaannya masing-masing guna mencapai kebenaran abadi yaitu Allah sendiri, yang merupakan asal dan tujuan hidup manusia.
Menurut hemat penulis pemikiran karl Jaspers sangat filosofis Kristen. Karena ia mengajak orang lain untuk mencari inti terdalam penyebab segala sesuatu yang ada. Dalam bukunya “Asal dan Tujuan Sejarah” ia menjelaskan secara baik asal-usul sejarah dalam tataran historis, namun pada satu titik tertentu Karl Jaspers tidak mampu memberikan jawaban empirik tentang asal dan tujuan manusia. Pada titik ini ia mengambil langkah refleksi metafisis dengan mengakui Allah sebagai asal dan tujuan hidup manusia.

5.2. KESIMPULAN
Pemikiran Karl Jaspers tentang Allah ia berangkat dari kodrat manusia yang terbatas. Manusia dalam keterbatasannya tidak mungkin mengenal Allah secara pasti. Oleh karena itu Jaspers tidak mengunakan kata Allah sebagai realita tertinggi. Realitas tertinggi itu hanya boleh disebut chiffer lantaran manusia mengalami keterbatasan bahasa untuk menamai Sang abadi. Karl Jaspers menyebut Yang Transenden itu sebagai Yang Melingkupi segala sesuatu yang melingkupi (encompassing). Namun keseluruhan refleksi filosofisnya ia mengafirmasi Yang Melingkupi segala sesuatu yang melingkupi itu sebagai Allah.
Karl Jaspers tidak mengakui kebenaran dogmatis dalam Gereja. Menurutnya manusia tidak dapat mengetahui kebenaran secara pasti. Manusia hanyalah pencari kebenaran bukan pemilik kebenaran. Karl Jaspers mencoba untuk mengkritisi kebenaran dogma dengan argumen bahwa dalam situasi keterbatasan manusia tidak dapat mencapai suatu kebenaran secara mutlak. Dalam rumusan dogma Gereja seakan-akan manusia sudah mengenal Allah secara tuntas. Padahal menurutnya Transendensi tidak dapat ditangkap, dan tidak dapat menjadi obyek. Oleh karena itu pemikiran mengenai transendensi selalu berstatus kepercayaan. Agama baginya adalah “kepercayaan filsafat abadi”  yang merupakan asal dan tujuan pencarian manusia.
Manusia dan Allah adalah sebuah misteri. Namun dalam misteri itu tersirat kebenaran. Manusia selalu berefleksi akan makna terdalam hidupnya dan senantiasa mencari otoritas tertinggi sebagai penjamin hidupnya. Akhirnya manusia dalam situasi keterbatasan ia mencoba untuk keluar dari dirinya dan mencari sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu adalah kebenaran tertinggi, yakni Ada Absolut. Ada absolut ini adalah Allah. Allah dalam iman Kristen dan kerpercayaan filosofis Karl Jaspers merupakan asal dan tujuan hidup manusia. Di  hadapan Transendensi semua orang sama usianya.
Dengan demikian Allah adalah pengada ada yang lain, Dia adalah kebenaran absolut dan realitas tertinggi. Dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu tertuju.

5.3. RELEVANSI
Manusia dalam pencariannya tentang realitas tertinggi ia selalu terjebak dalam berbagai macam aliran. Eksistensi Allah selalu dipertentangkan baik dalam tataran empirisme maupun rasionalisme. Namun demikian dalam karya ilmiah ini penulis menarik benang merah dari pemikiran Karl Jaspers mencoba untuk menghubungkan dengan keyakinan iman Kristen akan yang transenden.
Yang Transenden dalam filsafat Karl Jaspers adalah Allah sebagaimana yang diimani dalam agama Kristen. Allah boleh dirumuskan secara berbeda namun Allah tetaplah satu dan sama. Pembicaraan tentang-Nya manusia merumuskan dalam bahasa dan pendekatanya masing-masing.
Allah adalah asal dan tujuan hidup manusia. Manusia senantiasa terarah pada satu tujuan yang terakhir yakni Allah. Allah merupakan kebenaran abadi. Dalam iman Kristen kebenaran satu-satunya adalah Allah yang mahakuasa dan pencipta segala sesuatu yang telah menginkarnsikan diri dalam diri Yesus dari Nazaret yang diimani sebagai Tuhan.
Dengan demikian Allah dalam pemikiran Karl Jaspers dan dalam iman Kristen tidak saling mengeliminasi tetapi memberikan dorongan dan motivasi kepada umat manusia terutama umat Kristen untuk mengimani Allah sebagai asal dan tujuan eksistensi hidup manusia, karena tujuan satu-satunya ziarah iman Kristen adalah Allah yang adalah kebenaran tertinggi dan absolut.

5.4. KRITIK DAN USUL-SARAN
Semua ilmu pengetahuan terbuka terhadap proses falsifikasi guna mencapai kebenaran yang semestinya, maka dalam karya ilmiah ini penulis membuka ruang kritik dan saran bagi pembaca kiranya dapat memberikan sumbangan ide untuk melengkapi atau pun mengurangi isi dari tulisan ini.
Atas kesediaan pembaca dalam menyumbangkan gagasan dan ide guna membangun sebuah karya ilmiah yang benar dan ideal, penulis mengucapkan limpah terima kasih.










DAFTAR PUSTAKA


1. DOKUMEN
 Alkitab Deuterokanonika , (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2005).

2. BUKU-BUKU
Aquinas, Thomas, Summa Theologiae Volume I. Questions 113,Tomas Gilby   O.P.(ed.), New York: Garden City, 196.

Arthur Schilpp, Paul (ed.) The Philosophy of Karl Jaspers, Hans Saner (trans.), Unitated State of America: By The Library Of Living Philosophers in Published Under The Sponsorship of Southern Illinois University-Carbondale, 1981.

Bernadien, Win Ushuluddin, Ludwig Wittgenstein, Pemikiran Ketuhanan dan Implikasinya Terhadap Kehidupan Keagamaan di Era Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Dähler Franz, Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia. Teori Evolusi yang Menggemparkan Dunia, Yogyakarta: Kanisius, 1971.

Delfgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, Soejono Soemarjono (Penterj.), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1988.

Hamersma, Harry, Filsafat Eksistensi Karl Jaspers, Jakarta: PT Gramedia, 1985.

Jaspers, Karl, The Origin and Goal of History, Michael Bullock: (Trans.), New Haven: Yale University Press, 1953.

Jaspers, Karl, Philosophy, Volume I, E. B. Ashton (trans.), United State of America: The University of  Chicago, 1969.

Jaspers, Karl, Pholosophy, Volume II, E. B. Ashton (trans.), United State of America: The University of  Chicago, 1970.

Jacobs, Tom, Paham Allah Dalam Filsafat, Agama-agama dan Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Kebung, Konrad, Esai tentang Manusia, Manusia dan Diri Yang Utuh. Volume 1, Ende: Nusa Indah, 2006.

Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, Cet. II, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
     
Leahy, Louis, Manusia Sebuah Misteri, Sintesa Filosofis tentang Makluk Paradoksal, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

L. Tjahjadi, Simon Petrus, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan dari Descartes Sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Snijders, Adelbert, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Stein, Edith, Finite and Eternal Being, Kurt F. Reinhardt (trans.), Washington DC: ICS Publication, 2002.

3. JURNAL
Budi Kleden, Paul, “Perkawinan Baru Antara Iman dan Akal Budi Mas Kawin Yang Terlampau Mahal”, dalam Jurnal Ledalero, Membaca Kuliah Paus Benediktus XVI Dalam Konteks, Vol. 6, No. 2, Maumere: Ledalero, Desember 2007.

4. INTERNET
Tentang Karl Jaspers, http://id.wikipedia.org/wiki/Karl_Jaspers (Online). Diakses pada   tanggal 29 Agustus 2010.
















1 komentar: